Filsafat Ilmu: Klasifikasi Hingga Konsep Adab
Rangkuman Pelajaran Filsafat Ilmu sesi I - IV
Oleh: Alfidhiya Zitazkiya Fika
Pendahuluan
Dalam semester awal di kelas PRISTAC
satu, saya mendapat jadwal belajar mata pelajaran Filsafat Ilmu. Saya belajar
konsep-konsep dasar ilmu selama empat sesi bersama Kak Fatih Madini. Beliau
menjelaskan tentang apa saja yang menjadi konsep dasar ilmu. Mulai dari
klasifikasi, tolak ukur, definisi, sampai dengan konsep adab yang telah
diajarkan oleh Syed Naquib Al-Attas. Dalam tulisan ini, saya akan menjelaskan
ulang apa yang telah guru saya, Kak Fatih jelaskan dalam pembelajaran di
pondok.
Klasifikasi Ilmu
Ilmu dalam Islam, terbagi menjadi dua
bagian, yakni ilmu Fardhu ‘Ain dan Fardhu Kifayah. Ilmu Fardhu ‘Ain yaitu ilmu yang wajib dipelajari sebagai seorang
Muslim. Dalam ilmu Fardhu ‘Ain, yang harus kita pelajari adalah ilmu Hal. Ilmu
Hal adalah ilmu yang
bergantung pada keadaan yang sedang
terjadi saat ini. Ilmu Hal ini mencakup 4
hal yaitu; zaman, usia, kapasitas fisik (akal), dan jenjang pendidikan. Dengan
melihat keempat hal di atas, dapat
kita tentukan apa saja ilmu yang harus kita pelajari
saat itu, dan apa yang tidak. Di antara ilmu Fardhu ‘Ain yang harus kita pelajari, yakni ilmu Aqidah. Ilmu Aqidah adalah ilmu untuk mengenal Allah serta mengetahui kaidah
atau aturan yang ada di dalam Syari’at Islam. Kemudian juga ilmu Fiqih, agar dalam beramal kita mengetahui mana yang
benar dan tidak. Juga ilmu
Tasawuf, agar dalam
mengamalkan tujuan hidup, yakni ibadah, menjadi khusyuk dan diterima.
Sedangkan ilmu Fardhu Kifayah, adalah ilmu yang tidak wajib setiap umat Islam untuk
mempelajarinya, namun dengan hanya beberapa orang dalam satu kaum saja itu
sudah cukup. Adapun dalam pembagiannya, Fardhu Kifayah menjadi dua bagian. Yakni emas dan selain emas.
Dalam emas, terdapat hal terpenting yang harus kita miliki yakni bekal
hidup. Dan selain emas, ada sesuatu yang tidak dibutuhkan semua orang, namun
dibutuhkan oleh umat. Yakni ilmu ilmu yang memenuhi kebutuhan umat, apa yang
umat butuhkan saat ini agar kondisi menjadi kembali baik atau lebih baik.
Semua hal memiliki yang namanya urgensi atau
pentingnya akan keberadaan sesuatu tersebut. Adapun urgensi daripada ilmu, itu terbagi
menjadi 2 hal. Yang pertama, yaitu tidak sibuknya kita untuk mencari semua ilmu,
namun focus kepada apa yang menjadi prioritas kita saja. Karena kalau
tidak demikian, maka kita akan capek sendiri dan kita tidak
akan tau dengan apa yang sedang menjadi prioritas kita, tidak tau apa yang mesti
didahulukan untuk dikerjakan. Jumlah ilmu itu tidak terbatas, sedang umur
kita terbatas. Bukankah sudah jelas kalau tidak semua ilmu itu harus kita
pelajari?
Kemudian yang kedua adalah, mempelajari eksistensi ilmu yang
haram. Dewasa kini, sudah menjadi berita yang wajar didengar ketika ada satu
sekolah, kampus, ataupun Lembaga yang didalamya diajarkan yakni llmu lmu yang
tidak sesuai dengan syariat islam dan bisa membawa kepada kemudharatan. Setan datang membawa kemaksiatan, itu dibungkusnya dengan zukhruful
kalam (kata-kata yang indah). Dengan begitu, sangat mudah bagi setan untuk
menghasut manusia dengan kemaksiatan yang diindah-indahkan. Karena, hampir
tidak ada manusia yang tidak menyukai keindahan.
Maka dari itu, sudah sepatutnya bagi
kita untuk mempelajari eksistensi ilmu yang haram. Agar kita tidak bisa dijebak
dengan godaan setan yang terkutuk dengan mudahnya, sekalipun datangnya dalam
bentuk yang membuat manusia pada umumnya ingin memilikinya, seperti harta
Definisi Ilmu
Sering kali dan banyak orang mengartikan ilmu
sebagai suatu informasi. Namun, definisi ilmu yang sebenarnya adalah makna.
Sedang makna adalah tibanya jiwa pada makna, dan sampainya makna pada jiwa.
Lalu, apakah bedanya makna dan informasi? Bedanya adalah, kalau Informasi, adalah sesuatu yang hanya
sekedar kita ketahui saja. Sedang makna,
adalah sesuatu yang ketika kita mengetahuinya, kita melakukannya
(mengamalkannya). Misal, kita mengetahui bahwa dalam islam shalat adalah suatu
kewajiban yang tidak bisa kita tinggalkan, itulah informasi. Namun ketika kita
mengamalkan apa yang sudah kita ketahui, yakni kita shalat, maka itulah makna.
Maka dari itu, jika kita tidak mengamalkan sesuatu yang sudah kita ketahui,
maka kita bukan menuntut ilmu, melainkan menunutut informasi.
Tolak Ukur Ilmu
Apa yang menjadi tolak ukur daripada ilmu?
Yang menjadi tolak ukur ilmu yaitu ada dua
hal. Yang pertama, inovasi. Manusia bisa berinovasi dalam berbagai hal, itu dikarenakan adanya ilmu. Misal, buah pisang bisa monyet
dan manusia makan. Namun ketika manusia mengggunakan ilmunya untuk berinovasi dengan
membuat pisang menjadi es pisang, maka itulah makna bagi manusia yang tidak
bisa monyet rasakan. Kemudian tolak ukur
yang kedua adalah konsep Ilmu yang bermanfaat dari Imam Al-Ghazali. Konsep ilmu
bermanfaat atau nafi’ menurut beliau, bersifat mutlak. Karena memang
konsep yang dikatakannya lah yang sesuai dengan ajaran Islam. Konsep ilmu yang nafi’
yang pertama adalah, ketika menambah ilmu maka bertambah rasa takutmu pada
Allah, bukan justru menjadikan nya semakin sombong dan tidak takut akan Allah.
Kemudian yang kedua, yaitu ketika
bertambah ilmu, mata batinmu semakin jeli terhadapp aib mu. Terkadang atau bahkan seringkali, kita sebagai manusia tidak
melihat atau menyadari akan banyak nya aib yang telah kita perbuat. Selalu
melihat dan membicarakan aib oranglain, namun aib sendiri saja tidak sadar akan
keberadaannya. Maka dari itu, ilmu itu akan memberikan manfaat, ketika semakin
bertambah ilmu, semakin pula kita memperhatikan akan aib aib kita. Konsep yang
ketiga ialah, dengan bertambah ilmu, kita semakin mengenal akan Allah, sang
pencipta alam semesta. Dengan mengingat bahwa semua ilmu yang kita peroleh
adalah semata-mata hanya milik Allah, dan Allah lah yang memberikan
pemahamannya pada kita, maka kita akan semakin ingin mengenal Allah, sang
pemberi ilmu. Dengan begitu, kita bisa mengetahui betapa agungnya Allah dengan
sifat sifatnya yang tiada bisa dihitung.
Konsep yang keempat, yaitu mengikis atau
mengurangi keinginan duniawi. Terkadang, ketika kita mendapatkan nikmat berupa ilmu, kita mneginginkan
berbagai nikmat dunia berupa harta, pujian, jabatan, dll. Karena itu, Islam
memerintahkan umatnya untuk mengurangi keinginan duniawinya ketika bertambah
ilmu. Hal itu dikarenakan agar umat islam, tidak membuang usianya hanya untuk
hal hal yang bersifat sementara, melainkan menggunakannya dengan memperbanyak
amal kebaikan agar berguna dikahirat kelak.
Kemudian konsep yang kelima adalah, semakin
bertambah ilmu, semakin pula kita bertambah akan kecintaan pada akhirat. Sering dari pada manusia ketika memperoleh ilmu, lupa akan akhirat
yang merupakan tempat berpulang setiap makhluk, dan bersifat abadi. Dapat ilmu baru, lallu sombong dan mencari
perhatian agar menjadi popular, lupa akan fananya dunia dan kekalnya akhirat,
akhirnya ia akan meyia-nyiakan banyak dari waktu hidupnya hanya untuk perkara
yang fana. Maka dari itu, dalam islam diajarkan yakni ketika seorang muslim mendapat
ilmu, haruslah bertambah kecintaannya pada akhirat, agar tidak terlena akan
dunia yang sia sia.
Konsep yang keenam, adalah semakin
jeli mata batin akan penyakit hati. Tidak jarang manusia tidak menyadari, akan adanya penyakit hati dalam
dirinya yang sudah bersemayam dan membuat tindak tanduk kita tidak beradab.
Iri, dengki, sombong, dendan, benci, namimah, dan sebagainya adalah
penyakit hati yang jika kita biarkan mereka tinggal dan berkembang, maka hidup
yang akan kita jalani akan penuh dengan rasa gelisah. Gelisah akan keberhasilan
dan kebahagiaan orang lain. Dan jika begitu, maka hidup kita tidak akan tenang
dan terus memikirkan orang lain, serta melupakan diri sendiri. Maka dari itu,
sudah sepatutnya bagi kita untuk memperhatikan hati kita, apakah maskh tersisa
dalam hati kita, yaitu penyakit hati yang sangat berbahaya.
Sumber Ilmu
Sumber ilmu atau yang biasa disebut
dengan epistemologi, adalah satu pengetahuan yang juga penting kita pelajari. Karena
jika tidak mengetahui epistemoogi yang baik, maka apa yang akan kita jalani seterusnya akan keluar dari agama,
tidak sesuai dengan yang diajarkan Allah dan Rasulnya. Orang orang sufastafaiyyah
atau sofis, adalah orang orang yang tidak percaya akan adanya ilmu sebagai
kebenaran. Dalam hal ini, ada tiga golongan yang tidak mempercayainya. Pertama,
yaitu golongan al- la Adriyyah (agnostic). Golongan yang pertama ini
adalah golongan yang menganggap bahwa manusia itu tidak mengetahui segala
sesuatu. Namun mereka masih mengakui bahwa adanya kebenaran, tapi mereka
menafikan kemungkinan untuk tahu, mereka tidak pernah meyakini satu hal
itu benar adanya, serba tidak tahu. Jadi ketika ada orang yang bertanya apakah
asin benar atau tidak, mereka akan mnejawab ‘tidak tahu’.
Kemudian golongan yang kedua adalah al-indiyyah
atau relativisme. Golongan ini, tidak bisa mengakui segala sesuatu itu salah
ataupun tidak, namun tergantung dari orang yang memandang dan memandangnya dalam aspek mana. Jadi kebenaran itu tidak bisa diperdebatkan menurut mereka.
Mereka menganggap “Dari mana seorang itu melihat kebenaran, maka itulah yang dianggaaapnya benar.” Kemudian golongan terakhir adalah golongan al-Inadiyyah
atau skeptis. Golongan yag terakhir ini adalah golongan yang termasuk ekstrim
dikarenakan, mereka benar benar menafikan semua kebenaran. Tidak percaya
sedikitpun dengan kebenaran. Maka dari hal inilah, yang menyebabkan munculnya
paham Pluralisme karena, mereka menganggap kalau tidak ada satu pun agama yang
benar. Jika ada yang meyakini kalau agamanya benar, maka dia adalah orang yang
jahat. Inilah yang menyebabkan pluralisme merancak akan keberadaannya,
khususnya pada era sekarang ini.
Terlepas dari tiga golongan diatas, pendapat
dari setiap golongannya adalah suatu
argumen yang lemah. Jika memang ingin menggunakan logika, maka mudah saja bagi
kita, umat islam, untuk membantah pendapat mereka yang tidak berdasarkan apapun
dan sangat samar. Misal dalam golongan pertama, yaitu agnostik yang menganggap
kalau manusia tidak bisa tau kebenaran, maka kalau memang betul manusia tidak
bisa mengetahui akan kebenaran, apakah keyakinan akan manusia tersebut tidak
bisa mengetahui kebenaran adalah suatu kebenaran atau bukan? Bukankah sudah
terlihat dengan jelas, bahwa mereka yang tidak menganggap atau bahkan menafikan
kebenaran adalah golongan otang orang yang lemah pendapatnya. Karena apa yang
mereka yakini saja sudah suatu kebenaran, lalu mengapa apa yang mereka yakini,
isinya adalah tidak bisanya manusia mengetahui kebenaran?
Begitu juga dengan pendapat golongan kedua
yang relatif. Kalau memang segala sesatu itu bersifat relatif atau nisbi,
apakah pengetahuan akan semua kebenaran itu relatif suatu kebenaran? Dalam golongan
ketiga yang benar benar menafikan kebenara, apakah keyakinan mereka yang
menafikan semua salah adalah suatu kebenaran? Kalau memang pendapat tiga
golongan ini bukan sebuah kebenaran, mengapa mereka memaksa kita untuk
mempercayai apa yang mereka yakini? Bukankah hal itu juga termasuk kebenaran
yang mereka ingin agar kita, orang orang yang tidak percaya yang mereka yakini,
dibuat untuk percaya?
Dengan manusia tidak mempercayai kebenaran,
maka nilai pada setiap hal akan menjadi relatif bagi mereka. Mereka
merelatifkan suatu nilai, itu mengikuti dengan zaman. Contohnya adalah ketika
orang orang liberal menganggap bahwa Nabi mengharamkan homo hanya ketika
dizaman dahulu saja, dikarenakan populasi manusia masih dibilang sedikit, dan
mereka menganggap kalau populasinya sudah banyak seperti sekarang, itu boleh
melakukan homoseksual. Jadi mereka merelatifkan nilai sesuai dengan
berkembangnya zaman. Dengan begitu, jikalau nanti populasi manusia sedikit,
mereka mulai mengharamkan lagi homoseksual tersebut. Jika paham ini dibiarkan
begitu saja, maka tatanan dunia akan hancur ditangan liberal yang dengan sesuka
hati mengubah nilai dari suatu ketetapan. Maka dari itu, Allah menurunkan al-Qur’an sebagai
batasan atau tolak ukur kita dalam mempercayai kebenaran.
Adapun epistemologi atau sumber ilmu yang
diajarkan dalam agama islam, terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, panca
indra manusia. Rasa dalam lidah, bau dalam hidung, suara dalam telinga, tekstur
dalam kulit, dan warna dalam mata adalah termasuk salah satu epistemologi yang
diajarkan dalam islam, dan manusia pada umumnya bisa menggunakan panca indra
yang lima ini untuk mengetahui adanya kebenaran. Kedua, akal yang waras
(sehat). Seperti angka 10 lebih besar daripada angka 3, sesuatu yang bertolak
belakang atau kontrsdiktif tidak bisa terjadi bersamaan dalam satu waktu,
adanya tuhan sang pencipta alam semesta, anak kandung tidak lebih tua daripada
ibunya, dan sebagainya yang merupakan hukum akal yang sudah tetap dan tidak
bisa balikkan atau diubah.
Ketiga, ialah khabar shadiq atau kabar yang benar. Seperti
kalam Allah yang ada dalam al-Qur’an dan hadits, itu adalah kabar yang benar
yang disampaikannya oleh banyaknya orang atau seseorang yang sangat dipercaya
kata-katanya dan tidak mungkin baginya berdusta. Seperti misalnya, kita
mengetahui bahwa kita adalah anak kandung dari ibu kita saat ini, itu
dikarenakan orang orang mengatakan kalau kita anak dari ibu kita, dan kita
mempercayainya tanpa harus repot repot untuk memeriksanya dengan tes DNA atau
sebagainnya untuk membuktikan kalau kita anak dari ibu kita. Sama juga halnya, dengan semua orang yang mempercayai adanya teori
phytagoras dalam ilmu matematika. Bukankah kita bisa mengetahui bahwa teori
phytagoras yang menciptakan adalah phytagoras itu dari perkataan kebanyakan
orang? Sedang tanpa kita melihat langsung bagaimana phytagoras menciptakan
phytagoras, kita sudah bisa langsung mempercayainya.
Maka dari itu, khabar shadiq adalah
salah satu epistemology yang bisa dipikirkan dengan menggunakan logika, bukan
hanya khabar shadiq yang mengatakan berbagai kaidah dalam islam semata.
Namun, dalam kehidupan seharihari pun kita tidak pernah atau bahkan bisa,
membuktikan sendiri apa yang sudah kita percayai. Karena, akan menjadi susah
hidup seseorang, ketika ia selalu menggantungkan keyakinannya dengan hanya
mengunakan panca indra sahaja. Apakah masih dibilang waras, ketika ada salah
satu penumpang pesawat yang sebelum ia menaiki pesawat yang akan ia tumpangi,
itu mengecek apakah bahan bakar pesawat itu sudah aman, apakah pesawat itu bisa
digunakan dengan baik, apakah pilotnya itu bisa mengendarai pesawat, atau
apakah ia akan selamat ketika ia menaiki pesawat tersebut. Bukankah ketika
menaiki pesawat kita sudah tinggal duduk manis dan menunggu sampai tujuan
karena kita sudah diberi tau dan percaya bahwa pesawat itu sudah aman?
Oleh itu, bisa kita simpulkan bahwa
orang orang yang menafikan konsep wahyu, yakni kebenaran yang berasal dari khabar
shadiq yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam,
yang bukan sembarang orang, itu adalah suatu argument yang lemah? Dikarenakan
seperti yang ada diatas, mereka saja bisa percaya tanpa harus membuktikan,
bahwa mereka anak dari ibu mereka. Lalu mengapa etika turun wahyuyang
disampaikan oleh seorang utusan tuhan, yakni Nabi Muhammad, mereka tidak
percaya?
Terlepas dari penjelasan diatas,
yang menjadi problemnya adalah, banyaknya orang yang lebih mempercayai yang
kelasnya lebih rendah dari pada yang lebih tunggi. Seperti yang sudah saya
sampaikan diatas, mereka lebih percaya orang biasa yang mengatakan kalau mereka
anak dari ibu mereka, sedang mereka tidak percaya omongan seorang utusan tuhan
yang menyampaikan kebenaran. Dan juga, orang orang barat tidak mempercayai
adanya khabar shadiq sebagai salah satu epistemology. Maka tidak heran,
ketika kita melihat bahwasannya masyarakat barat tidak pernah berpegang pada
kitabnya, melainkan menggunakan panca indra dan akal semata. Dari hal ini,
timbullah dampak yang menyebabkan kitab mereka, bible, itu dapat diubah udah
semua orang, sesuai dengan hawa nafsunya. Dikatakan, bahwasannya manuskrip
bible, itu mencapai 500 ribu manuskrip. Dan Barat, sampai saat ini pun tidak
mengetahui yang mana yang merupakan manuskrip yang masih asli isinya dan belum
diubah.
Oleh karena itu, benarlah apa yang
dikatakan oleh Ustadz Bana Fatahillah, dalam buku Qawaid Lughawiyyah,
yakni jika sesuatu ituseudah sesuai dengan aslinya, maka jangan lagi kau
tanyakan sebab terjadinya hal tersebut. Namun jika sesuatu itu sudah keluar
menyimpang dari keasliannya, maka pertanyakanlah sebab dari keluarnya hal
tersebut dari keasliannya.
Manusia, bisa mengetahui suatu
kebenaran dengan akal yang dimilikinya. Namun manusia memiliki kapasitas akal
yang terbatas. Sebab manusia bukanlah tuhan yang mengetahui segalanya. Maka
dengan adanya kapasitas akal tersebut, lahirlah berbagai bidang disiplin ilmu
yang berbeda nan beragam. Manusia bisa relative, namun tidak dalam semua hal.
Islam mengajarkan bahwasannya ada kebenaran yang tetap, dan ada yang tidak
tetap. Jadi tidak semua itu relative, dan tidak semua itu tetap.
Kemuliaan dan Urgensi Ilmu Beserta Tradisinya
Islam, adalah agama yang menekankan aspek
keilmuan dalam segala hal. Maka siapapun yang mengaku muslim namun tidak
berilmu, tidaklah dapat seseorang itu dibilang muslim. Sebagaimana yang
dikatakan salah seorang ilmuan non muslim dari barat, Frans Rosenthal,
mengatakan; “Ilmu is Islam”. Ilmu adalah
islam, islam adalah ilmu. Saling berkaitan satu sama lain dan tidak bisa dipisahkan. Robert, juga mengatakan
“Sungguh ilmu merupakan suatu karunia besar yang diberikan oleh peradaban barat
(islam) kepada dunia saat ini”. Ilmu, sebagaimana yang dikatakan para ilmuan
barat, merupakan suatu pemberian yang sangat besar dari Islam untuk dunia,
terutama untuk peradaban barat yang dewasa ini sedang mencapai kemajuan yang
sangat pesat dalam berbagai hal.
Adapun kemuliaan ilmu dalam islam,
sudah banyak diterangkan dalam berbagai ayat al-Qur’an, Hadits, dan perkataan
ulama. Misal dalam ayat al-Qur’an, kemuliaan ilmu sudah dikatakan dalam
berbagai surat diantaranya: surat 20:144, 39:9, 9:122, 2:30, 35:28, 3:7, 3:18,
58:11, dan 16:43. Sedangkan dalam hadits, sudah banyak juga dikatakan tentang betapa mulianya penuntut
ilmu itu. Diantaranya adalah; “Ulama adalah pewaris para Nabi”, “Para
penghuni darat dan laut memohonkan ampun pada seorang penuntut ilmu”,”Ilmu,
mampu mengangkat derajat seseorang dari budak sampai ke raja”,”Ilmu itu mampu
membuat manusia dicintai dan diakui oleh Allah, dikarenakan penuntut ilmu
adalah pemegang amanah Allah di muka bumi”.
Adapaun dalam atsar atau perkataan
ulama, adalah sebagai berikut: “Ilmu lebih daripada harta. Ilmu yang menjaga
mu, sedang kamu menjaga harta. Ilmu bisa bereran sebagai hakim, sedang kamu
hakimi adalah harta”(Ail bin Abi Thalib), “tinta penuntut ilmu, lebih
berat dari darah para syuhada”, “Ilmu, walau pemiliknya adalah seorang budak,
namun ia akan tetap dianggap mulia”, “Wajib atasmu ilmu. Karena jika kau
miskin, maka ilmu adalah harta atasmu”(Abu Bakar pada Zubair), dan masih
banyak lagi perkataan ulama yang tidak bisa disebutkan satu persatu disini.
Selain daripada ayat qur’an, hadits, dan
perkataan para ulama, kemuliaan ilmu bisa kita lihat dalam akal. Yakni, ada
tiga analogi atau gambaran yang bisa membuktikan bahwasannya ilmu memang mulia.
Pertama, fadhlun atau keutamaan ilmu, itu sudah mulia secara
mutlak. Tidak perlu disandarkan pada sifat apapun. Misalnya sakit, dia masih
bersandar pada sifat panas, pusing, dll. Sedangkan ilmu, tidak lagi perlu
bersandar. Kedua, mengenai tujuan dicarinya sesuatu. Yang pertama, yaitu
sesuatu itu dicari untuk sesuatu yang lain. Seperti hal nya baju, dicari untuk
tubuh. Buku, dicari untuk menulis dan mnecatat, dan sebagainya. Sedangkan yang
kedua, yaitu dicarinya sesuatu untuk dirinya sendiri, seperti hal nya
kebahagiaan. Kebahagiaan, dicari untuk rasa bahagia itu sendiri, bukan untuk
yang lain. Dan yang ketiga, yaitu sesuatu dicari untuk dirinya sendiri dan juga
yang lain, seerti hal nya kesehatan. Dia dicari untuk sehat, dan agar bisa
melakkukan sesuatu yang lain.
Sedangkan ilmu, itu termasuk dalam golongan
yang ketiga. Karena, ilmu ketika dicari, tujuanya itu untuk ilmu itu sendiri,
dan untuk yang lain juga. Namun begitu, ilmu itu lebih mulia dari pada
kesehatan dan yang lainnya. Hal itu dikarenakan, manfaat daripada ilmu bisa
didapatkan di dunia, dan juga di akhirat. ketiga, analogi buah yang
dihasilkan. Yakni dengan ilmu, buah yang dihasilkan akan lebih besar. Dan ilmu
bisa membuat pemiliknya hebat di dunia, dan luar biasa di akhirat. Banyak hal
yang mungkin menjadi utama atau prioritas manusia di dunia ini. Namun, seutama
apapun suatu perkara yang ada di dunia ini, ketika seseorang itu belajar ilmu,
maka ia telah mempelajari suatu perkara
yang paling mulia. Al-Ghazali mengatakan dalam salah satu kitabnya yang
bernama risalatul mudzakarah yakni; “Kalau seseorang itu hidup
didunia tanpa ilmu, maka ia sudah mati sebelum mati. Orang yang berilmu, itu
akan hidup walaupun di dunianya ia sudah meninggal.”
Maka dari itu, dari berbagai macam
sumber sampai akal, kita sudah bisa mengetahui bahwasannya ilmu sangatlah
mulia, dan hal itu sudah bersifat mutlak adanya. Tanpanya, kita akan mengalami
5 hal yakni; pertama, manusia akan menjadi seperti hewan. Yang menjadi
pembeda antara manusia dan hewan, adalah akal. Dan akal bisa berguna, ketika
manusia itu mengguakannya dengan baik. Adapun kalau tidak, maka apa bedanya
manusia denagn hewan yang tidak memiliki akal? Kedua, manusia akan sulit
membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Dewasa kini, tidak sedikit
manusia yang sudah tidak bisa membedakan, mana yang merupakan perkara benar,
dan mana yang salah. Hal itu dikarenakan kesimpulan kesimpulan mereka yang
tidak didasar dengan ilmu yang nafi’. Akan bingung dan tersesat pada
akhirnya, karena dari awal sudah salah menyimpulkan. Maka dari itu, ilmu
penting untuk menjadi pegangan kita ketika membedakan mana yang termasuk salah
dan mana yang bukan.
Ketiga, yakni ketika manusia tidak memiliki llmu akan
melahirkan ketidakaturan dan kerusakan dalam segala aspek. Hal ini tentu saja
akan terjadi, karena jika kita menggunakan akal kita untk berfikir, bahwasannya
jika manusia melakukan segala sesuatu tanpa ilmu, maka yang terjadi adalah
lahirnyaketidak aturan dan kerusakan kerusakan yang akan menyebabkan tidak
seimbangnya ekosistem kehidupan dunia ini. Seperti hal nya manusia manusia yang
menjabat sebagai menteri dll nya, mereka mengatur segala keperluan rakyat
dengan tidak menggunakan ilmu, melainkan menggunakan hawa nafsu semata yang
menginginkan perkara duniawi saja. Dengan begitu, akibat dari hawa nafsu besar
para pejabat yang tidak beradab itu adalah rusaknya ekosistem laut, barat,
maupun udara. Ekonomi menurun, hutang semakin melunjak dan masih banak
kerusakan yang terjadi karena hafa nafsu hewani tersebut.
Keempat, membuat semua amalan baik menjadi sia sia. Seperti yang
sudah saya jelaskan diatas, bahwasannya ketika seseoang melakukan suatu amalan
yang tergolong baik namun tidak membersamainya dengan ilmu, maka akan menjadi
sia sia. Seperti perkataan al-Ghazali yakni; “Ilmu tanpa amal gila, amal
tanpa ilmu sia-sia.” Seorang yang menimba banyak ilmu namun hanya untuk
menimba tanpa mengamalkannya, maka disebut oleh imam Ghazali, seperti orang
yang gila. Sedangkan orang yang beramal, akan menjadi sia sia karena tidak beramal
dengan ilmu. Dengan begitu, agar kita tidak disebut gila dan juga menjadi sia
sia amalan, maka kita harus mengamalkan ilmu yang sudah diperoleh, dan
menggunakan ilmu ketika beramal baik.
Kelima, menjadi hina dan mudah dihinakan
serta dipermainkan oleh manusia yang berilmu. Ketika ada seseorang yang
baru memasuki sekolah barunya, atau jenjang baru dalam pendidikannya yang ia
tidak mengetahui apapun, maka para senior yang mengetahui banyak hal sudah bisa
dipastikan akan mempermainkan si anak baru tersebut, seperi mengambil uangnya,
menjadikannya pembantu, dll. Begitu juga dengan seorang yang tidak memiliki
ilmu. Tanpanya, ia akan menjadi hina dan dihinakan didepan orang orang yang
memiliki ilmu, dan akan menjadi bahan permainan mereka. Maka dari itu, agar
kita tidak mnejadi hina dan dihinakan, maka haruslah ilmu itu selalu melekat
dalam diri, dan dalam hati.
Lima hal ini lah yang akan terjadi jika
manusia hidup tanpa memiliki ilmu. Adapun manusia yang hidup dengan ilmu, maka ia akan sampai pada derajat
Taqwa. Yang dengan taqwa tersebut, ia berhak dapat kemuliaan di sisi Allah
serta bahagia di dunia dan diakhirat. Orang bertaqwa, ia memakai ilmunya untuk
mempelajari ilmu ilmu yang prioritas (fardhu ‘ain) seperti aqidah, fiqih, dan
tasauf. Maka kemudian, ia akan mendapat kemudahan memahami ilmu dari Allah.
Adapun seorang pakar pendidikan Internasional,
Prof Wan mengatakan; “ Tradisi ilmu, merupakan syarat terpenting bagi
majunya setiap bangsa. Janganlah kembangkan suatu bangsa, kalau bangsa tersebut
tidak memiliki tradisi ilmu. Karena, bangsa itu akan bergantung kepada
bangsalain yang lebih maju darinya. Jika ada satu peradaban yang kuat dalam
bidang militer, maka itu bukan perkara yang utama yang bisa membuat maju bangsa
tersebut. Namun yang membuat majunya adalah karena mengikuti bangsa lain. Hal
ini bisa disimpulkan sebagai prinsip umum sejarah.”
Az-Zarnuji dalam kitab Ta’lim Muta’allim
mengatakan; “Mulianya ilmu itu hanya akan ada pada manusia. Maka hanya manusia lah yang
memiliki sifat ilmu. Sedangkan sifat yang lain, seperti berani, rajin, dll itu
bisa dimiliki hewan juga. Itulah mengapa, Allah tampakkan kelebihan manusia,
yakni Nabi Adam,dan menyuruh Malaikat untuk sujud padanya.”
Seseorang yang ilmunya baik, maka ia akan
tetap menjadi mulia meski tujuan dia masih salah. Ketika dia mendapat ilmu,
bisa dilihat pada akhir dia setelah mendapatkan ilmu. Apakah ia mneggunakan
untuk kebaikan, atau untuk kebathilan. Jika untuk kebaikan, maka ia akan
dianggap baik. Jika dibuat dengan ilmu tersebut untuk berbuat hal hal yanng
batil, maka sejak awal memang ia tidak ada keinginan untuk memperbaiki niatnya
dan menjadi sesat selamanya. Adapun seseorang yang melakukan amalan baik niatnya
untuk menggugurkkan kewajiban, maka ia akan tetap baik dan mendapat pahala.
Karena melaksanakan kewajiban dalam islam adalah suatu kewajiban bagi setiap
islam.
Adab Sebelum Ilmu
“The sentral crisis of muslim today is loss
off adab.” Perkataan al-Attas mengenai krisis muslim saat ini adalah keluar
dari adab (biadab), bisa kita buktikan sendiri dengan melihat fenomena dimana
banyaknya kasus kriminal terjadi di berbagai tempat dan zaman. Kasus pelecehan,
pembunuhan, pencurian, dan lain lain itu sudah sangat wajar kita mendengar
beritanya. Hal itu tidak diherankan, karena
hukum yang berlaku pada sekarag ini adalah “Lancip ke bawah, tumpul ke atas.”
Jadi tidak ada yang mananya kenyamanan ketika seseotang tidak memiliki harta
maupn jabatan yang tinggi. Justru yang didaptkan adalah tagihan berbagai macam
dengan jumlah yang tidak sedikit, ekonomi menurun, dan berbagai kasus lainnya.
Hukum yang membuat tersiksa golongan
bawah tersebut, adanya dikarenakan banyaknya para pemimpin yang tidak memiliki
ilmu yang benar ketika mengatur negara. Maka dari itu, yang terpenting dari
seseorang bukanlah hanya dengan modal pintar, namun juga benar. Bukan hanya
pandai, namun juga baik. Bukan hanya berilm, namun juga beradab.” Dengan tahu
nya seseorang akan pentingnya adab sebelum ilmu, maka ketika ia menuntut ilmu,
akan dijadikan ilmu tersebut sebagai sebuah amalan yang memberikan manfaat pada
pemiliknya dan orang lain.
Urgensi Adab
Urgensi daripada adab terbagi
menjadi lima bagian yakni; pertama, mampu mendisiplinkan pikiran ketika
menerapkan sesuatu dalam jiwa dan raganya. Dan juga mampu mendisiplinkan
pikiran dalam memandang, meletakkan, atau memposisikan segala sesuatu (seperti
hal nya tuhan dan manusia) pada tempatnya atau pada posisiyang tepat dan benar,
sesuai dengan kehendak yang sudah Allah tentukan. Demikian juga dengan ilmu.
Ketika seseorang beradab maka ia bisa meletakkan ilmu pada tempatnya. Dengan
begitu, ilmu tersebut bisa menjadi manfaat. Contoh, ada seorang dokter yang
juga pandai memasak sedang mengoperasi seorang pasian yang tidak akan lama lagi
akan di operasi. Ketika ia menggunakan ilmu yang ia miliki dalam bidang
kedokteran, maka ilmu tersebut akan menjadi manfaat untuknya, dan untuk pasien
tersebut. Sebaliknya, jika ia menggunakan ilmu memasak ketika akan mengoperasi
pasien, maka tidak akan ada sedikitpun manfaat yang akan didapatnya, melainkan
yang ia dapat adalah kerugian yang sengat besar.
Kedua, dapat memudahkan dalam memperoleh ilmu yang bersifat hardskill
maupun softskill, sekaligus melahirkan para pembelajar yang siap mengaum di era disrupsi. Softskill dalam
setiap orang, sangatlah penting untuk dimiliki agar mudah memperoleh hardskill
dan tidak mudah panik ketika sedang dihadapkan oleh peristiwa yang membutuhkan
softskill. Adapun softskill ada empat hal atau 4C yakni; Critical Thinking
(berfikir kritis), Creatifitas (kreatif), Collaboration (kerja
sama), Communication (komunikasi). Ketika seseorang memiliki pemikiran
yang keritis, maka dapat dengan mudah olehnya untuk banyak bertanya. Dan dengan
bertanya, maka dapat dengan mudah olehnya mengerti apa yang ia telah
dipelajarinya.
Dengan seseorang kreatif dalam
segala hal, maka ia akan dpat banyak hal dari hal hal baru yang sudah ia
ciptakan. Dengan bekerja sama, seseorang akan menjadi lebih mudah untuk
mendapatkan informasi atau pun dalam
melakukan sesuatu. Sedangkan orang yang berfikir kalau ia bisa melakukan
semuanya dengan sendiri, maka hal itu akan menyusahkannya sendiri, dan akan
menyesal diakhirnya. Yang terakhir, yaitu komunikasi. Komunikasi sangatlah
penting dimiliki oleh semua orang ketika akan melakukan sesuatu. Karena
tanpanya, semua hal akan menjadi mungkin untuk disalahpahami oleh orang lain.
Komunikasi bisa dengan berbicara, menulis, isyarat, atau bahkan hanya dengan
kedipan mata. Namun begitu, orang lain akan tahu apa yang kita butuhkan,
sekaligus memudahkan kita, dan juga orang lain.
Ketiga, membentuk manusia manusia yang siap berjuang dan berdakwah dengan berapapun ilmu yang
dimilikinya. Ketika orang lain menilai seseorang, maka yang pertama kali
dilihat adalah bagaiana cara ia bersikap (adab) padanya. Bukan bagaimana ia
belajar, atau berapa banyak ilmu yang sudah ia miliki. Dengan begitu, yang
paling penting untuk dimiliki seorang pendakwah bukanlah ilmu, melainkan adab.
Dalam hal ini, bukan berarti ilmu itu tidak dipentingkan, namun ilmu harus
didahului oleh adab agar ilmu tersebut bisa bermanfaat. Berapapun ilmu
seseorang, ketika ia sudah berbekalkan adab, maka akan dengan mudah ia
menyampaikan dakwahnya. Karena orang yang beradab, sudah pasti berilmu walaupun
sedikit. Sedangkan orang yang berilmu, belum tentu beradab. Maka dari itu,
dengan adanya adab, seseorang akan dengan mudah menyampaikan kebenaran. Karena
orang lain akan percaya dengan apa yang dikatakan orang yang beradab.
Keempat, mencetak para good man atau sumber daya manusia unggul yang
senantiasa menjadi orang yang baik dan bermanfaat ditengah umat. Seorang
manusia yang baik atau good man, itu lahir karena adanya adab yang
melekat pada diri seseorang. Orang yang memiliki adab, akan selalu mengingat
bahwa Allah selalu melihat apa saja yang dilakukan dirinya. Dengan begitu,
tidak akan dia bermaksiat pada Allah. Dia akan selalu takut pada Allah, dan
senantiasa berbuat baik untuk dirinyam dan juga orang lain. Orang baik, itu
bukan ditentukan di mana ia tinggal dan bagaimana lingkungannya. Akan tetapi
orang yang baik dimanapun ia berada, ia akan tetap menjadi baik atau bahkan
membuat orang disekeliling dia ikut menjadi baik.
Kelima, lebih mundah diterima kehadirannya di tengah masyaraka. Hal ini
benar adanya, seperti yang sudah saya sampaikan diatas, hal itu adanya sebab
perhatian seseorang akan berpaling dulu pada apa yang dilakukannya, bukan pada
seberapa banyak dan apa saja yang sudah ia miliki. Jika dipikirkan mneggunakan
logika, maka dengan sangat jelas kita meyakini bahwa memang demikian adanya.
Ilmu, ada di dalam otak seseorang dan tidak terlihat oleh orang baru yag tidak
mengetahui bahwa seseorang itu sudah menimba ilmu yang banyak. Dengan begitu,
akan menjadi buruk image seseorang yang memiliki banyak ilmu namun dengan orang
yang lebih tua, ia tidak ada sikap menghormati. Maka dari itu, sudah selayaknya
bagi kita, yakni seorang penuntut ilmu, menunjukkan bahwa kita adalah seorang
yag memiliki ilmu dengan cara menggunakan adab
dalam setiap amalan. Karena,
setiap perbuatan pasti ada adabnya, sedangkan ilmu tidak. Seperti contoh masuk
kamar mandi ada adabnya yaitu membaca doa, menggunakan kaki kiri, dan mengingat
Allah. Sedangkan ilmu, tidak pernah ada seorangpun didunia ini yang mengetahui
ilmu bagaimana masuk kamar mandi, karena memang sejatinya tidak pernah ada.
Maka dari itu, penting bagi kita untuk memiliki adab.
Keutamaan Adab
Menurut Nabi Muhammad Shallallahu
‘Alaihi Wasallam, keutamaan adab terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, Nabi
mengatakan bahwasannya tidak akan diutus beliau, kecuali untuk menyempurnakan
akhlaq yang mulia. Kedua, Nabi mengatakan dalam salah satu sabdanya,
yaitu bahwa mukmin yang paling sempurna ialah yang paling baik akhlaqnya, bukan
yang paling banyak ilmunya. Ketiga, Nabi mengatakan lagi dalam sabdanya
bahwa Allah telah mendidik nabi, dan menjadikan nabi sebagai pendiidkan
terbaiknya. Adapun perbedaan dari pada akhlaqdan adab ialah, akhlaq hanyalah dalam
lingkup pada manusia. Misalnya sopan, jujur, berani, dll. Sedangkan adab, itu
kepada semua makhluk mau yang hidup ataupun mati. Adab terhadap barang yang
sudah di dapat, tumbuhan, hewan, lingkungan, maupun manusia. Ketika seorang
guru mengajarkan adab, makai a sedang menanamkan nilai kepada muridnya.
Sedangkan guru yang hanya mengajar materi dalam buku, maka ia sejatinya
hanyalah melakukan transfer nilai dari otaknya, ke pada otak muridnya.
Adapun keutamaan adab menurut
sahabat antara lain menurut Umar bin Khattab. Umar mengatakan pada anaknya “taddabuu
tsumma ta’allamuu.” Beradablah kalian, kemudian pelajarilah oleh kalian
ilmu. Dari perkataan Umar ini, sudah mnecakupaspek adab dan ilmu. Namun begitu,
Umar tetap menyuruh kita agar mengutamakan atau mendahulukan adab sebelum ilmu.
Kemudian dalam perkataan sahabat yang lain yang juga sama maknanya, yaitu
perkataan Ali bin Abi Thalib; “tanamkanlah dari mereka adab. Dan ajarkanlah
dari mereka ilmu.”
Kemudian keutamaan ilmu menurut para
ulama antara lain adalah; pertama, IIbnu al Mubarak mengatakan “Adab
itu, mencakup dua pertiga dari agama Islam.” Kemudian menurut Habib Ibnu
Syahid mengatakan pada anaknya “Temanilah olehmu yakni para Fuqaha (Ahli
Ilmu) dan belajarlah adab padanya. Karena hal itu lebih aku sukai daripada
kamu menghafal banyak hadits.” Yusuf bin Husain “Dengan Adab, Ilmu bisa
dipahami.” Yasir bin Malik “adab ketika beramal, adalah tanda
diterimanya amalan seseorang.” Hasyim Asy-‘Ari dalam kitab Adabul ‘Alim
wal Muta’allim-nya mengatakan “Tanpa adab, maka Iman, syariat, dan
Tauhid akan sia sia adanya.” Ruwaim pada anaknya mengatakan “jadikan
olehmu, yakni ilmu sebagai garam, dan adab sebagai tepung.” Yang terakhir,
ialah perkataan al-Imam Syafi’I yakni “carilah olehmu adab, seperti seorang
ibu yang kehilangan anak perempuan satu satunya.”
Dari perkataan para ulama diatas,
sudah bisa kita ketahui dengan sangat jelas yakni keutamaan adab. Mulai dari
porsi adab dalam Islam, belajar adab lebih baik dari pada ilmu, adab tanda
diterimanya seseoang, sampai dengan analogi mencari adab seperti ibu yang
sedang mencari anak satu satunya. Dengan begitu, ketika kita sudah mengetahui
bahwa adab sangatlah penting, sudah selayaknya bagi kita mengutamakan adab
daripada hal hal yang lainnya.
Konsep Adab
Menurut al-Attas, adab ialah
informasi yang dijadikan makna, kemudian
pengenalan akanmakna tersebut, dan diakuinya serta membuat keadilan dengan
makna tersebut. Informasi yang membat seseorang paham akan makna, kemudian
direalisasikan, maka itu adalah adab. Sedangkan pengenalan adalah, kenalnya
kita akan makna yang sudah kita pahami dari informasi tersebut. Setelahnya,
kita mengakui atau meyakini akan makna tersebut, dan menjadikannya suatu
keadilan yang dimana, semua hal itu sudah pada tepatnya.
Misal, kita mendapat informasi bahwa
tuhan adalah Allah. Kemudian ketika kita paham, sebab Allah adalah tuhan kita,
maka yang kita lakukan adalah dengan mengenal Allah. Mengenal sifat sifatnya,
nama namanya, dan lain lain. Setelah mengetahui, maka kita harus mengakui hal
tersebut, yakni mengakui dan meyakini bahwa Allah adalah tuhan. Pada akhirnya,
kita menempatkan Allah sesuai pada tempatnya (keadilan) dengan meletakkan Allah
sebagai prioritas terpenting dibandingkan yang lain. Semua susunan ini, adalah
adab. Sedang adab, hanya akan dimiliki oleh orang berakal. Dikarenakan dalam
memahami sesuatu, diperlukan olehnya akalyang sehat.
Adapun penanaman adab, itu ada tiga
aspek yang perlu diperhatikan tiap bagiannya. Pertama, yaitu pembentukan cara pandang. Pembentukan cara
pandang atau worldview seseorang itu sangatlah penting. Karena, apa yang
akan seseorang lakukan, itu semua berasal dari apa yang ia fikirkan. Maka jika
baik dan benar sesuai syariat islam cara pandangnya, maka baik pula tindak
tanduknya. Kedua, Proposional dalam bersikap atau bijaksana. Hal ini
harus kita perhatikan, karena reaksi seseorang akan sesuatu, itu akan
mempengaruhi apa yang akan terjadi selanjutnya. Karena sejatinya, apa yang
terjadi dalam hidup ini, hanyalah satu persen adanya, sedangkan Sembilan puluh
Sembilan persennya, yaitu reaksi kita terhadapt kejadia yang sedang kita alami
pakah kita bijaksana, atau tidak. Ketiga, Tazkiyatun Nafs atau
menyucikan jiwa. Dalam aspek hati, seorang haruslah mengutamakannya juga.
Karena jikalau cara pandang dan reaksinya sudah baik namun hatinya masih banyak
penyakit yang bersemayam, maka tidak ada bedanya dengan orang yang biadab.
Dengan orang yag munafiq, yang bisa bersikap baik di depan namun dihatinya ia tidak
menyukainya atau bahkan membencinya.
Dari tiga hal ini, bisa kita ketahui
bahwasannya penanaman adab itu mencakup dari pada tiga aspek. Yakni aspek
pikiran, reaksi,dan hati. Tiga hal ini saling berkaitan dan tidak dipisahkan
satu sama lain. Karena, ketiga memiliki hubungan yang erat, yang dimana jika salah
satunya tidak ada, maka akan gugur yang lainnya.
Perbedaan Adab dan Sopan Santun
Pembeda antara sopan santun dan adab
ialah ada tiga hal. Pertama, landasan nilai dalam adab integral. Adab,
adanya mulai dari iman, wahyu, agama, akal serta kesepakatan masyarakat.
Sedangkan sopan santun, adanya dari dalam akal manusia. Kedua, cakupan
adab jauh lebih luas dari pada sopan santun atau akhlaq. Seperti yang sudah
saya jelaskan di atas, bahwa cakupan adab mencakup sampai semua aspek.
Sedangkan akhlaq, hanya dari manusia kepada manusia yang lainnya. Ketiga,
tidak selalu sopan santun itu beradab. Namun setiap adab itu pasti mengandung
sopan santun. Jika span santun dan adab disamakan, maka pastilah Tindakan Nabi
Ibrahim kepada orangtuanya dianggap sebagai Tindakan yang biadab. Maka dari itu, yang harus diprioritaskan
pertama kali oleh kita adalah, apa yang Allah perintahkan. Kemudian Nabi,
barulah orangtua. Jika orangtua menentang Allah, maka kita pilih Allah terlebih
dahulu. Namun jika orangtua tidak menentang Allah, maka kita patut untuk taat
padanya.
Penutup
Selesailah sudah rangkuman ini ditulis dengan
sedetail detailnya, dan dengan segenap niat agar bisa menjadi manfaat suatu
hari nanti. Sebagai penutup, saya mengutip satu perkataan Kak Fatih di akhir
pembelajaran filsafat ilmu ini.
“Islam adalah agama Ilmu. Tanpa Ilmu, Islam
tidak akan bangkit. Namun, tanpa adab akankah ilmu dapat memebangkitkan islam?
Bukankah tanpa adab ilmu akan disalahgunakan? Bukankah tanpanya ilmu akan
meruntuhkan agama islam? Bukannya ilmu tidak penting, namun dia harus
didahulukan dengan adab. Tidak mungkin setiap orang yang beradab tidak memiliki
ilmu meskipun kadarnya berbeda beda. Selama ada adab, sedikit ilmu akan
menuntun manusia pada kebaikan, manfaat dan kemuliaan serta kebahagiaan”
Masya Allah tabarakallah... Kereen banget neh.. Kecil2 sdh jadi penulis ilmu pemikiran.. Salam bangga
BalasHapusKeren maa Syaa Alloh
BalasHapusMasyaa llah..sangat luar biasa
BalasHapusKeren banget....
BalasHapussyukron...
Hapusgood good good
BalasHapus