Pluralisme Agama: Definisi Sampai Dampak dan Solusinya
(Rangkuman Mata Pelajaran Islamic Worldview
Dalam Bab Pluralisme dan Beberapa Sumber Lainnya)
Oleh: Alfidhiya Zitazkiya Fika
Pendahuluan
Pada kesempatan kali ini, saya akan membahas
tentang salah satu paham, yang sejak awal abad ke-20 sedang mengalami puncak
munculnya. Paham yang akan saya bahas tidak lain adalah paham Pluralisme.
Pluralisme, adalah satu paham yang dewasa kini sedang gencar menyerang dunia
agama, khususnya dunia Islam. Jika sejak dahulu Islam sudah menerima segala
serangan dari luar dengan serangan berdarah, maka serangan yang kali ini barat
lakukan adalah serangan yang tak kasat mata, yakni serangan pemikiran. Senjata
yang bisa melukai tubuh, akan terlihat dengan jelasdampak dan bahaya yang akan
menanti jika tidak dihindari. Namun, senjata akal pikiran yang tidak kasat
mata, tidak akan disadari oleh banyaknya orang dikarenakan hanya sedikit oarng
yang bisa memahami adanya bahaya dan dampak yang besar dibalik serangan
pemikiran tersebut.
Orang yang tidak mengetahui bahayanya akan
paham ini, mereka mengira bahwa apa yang diyakini oleh paham ini adalah suatu
pembaharuan dari paham kuno menjadi paham yang modern, seperti yang telah barat
katakan. Padahal pada hakikatnya, apa yang barat ciptakan hanyalah suatu paham
yang menyebabkan bertambahnya konflik terus menerus. Banyaknya orang yang
menyalahpahami Pluralisme itu dikarenakan, dafinisi serta pengertian plralisme
yang menyebar sudah diubah dengan pengertian yang membuat orang tertarik dan
tidak sadar akan adanya suatu dampak besar jika mengikutinya. Maka dari itu, disini saya akan membahas Pluralisme dengan pemahaman
yang sebenarnya, agar umat islam tidak lagi tertipu dengan apa apa yang sudah
mereka katakana.
Difinisi Pluralisme
Dalam The Golier Webster Int.
Dictionary Of The English Language; Oxford Dictionary of Philosophy; Oxford
Advanced Learners Dictionary of Current English, dikatakan di dalamnya
mengenai definisi Pluralisme yang terbagi menjadi dua yakni; Pertama, Pengakuan
terhadap kualitas majemuk atau toleransi terhadap kemajemukan. Kedua, Doktrin
yang berisi didalamnya lima hal; Pertama, pengakuan terhadap kemajemukan
prinsip tertinggi. Kedua, pernyataan tidak ada jalan untuk menyatakan
kebenaran yang tunggal atau kebenaran satu-satunya tentang suatu masalah. Ketiga,
ancaman bahwa tidak ada pendapat yang benar, atau semua pendapat itu sama
benarnya. Keempat, teori yang seirama dengan relativisme dan sikap
curiga terhadap kebenaran (truth). Kelima, pandangan bahwa disana tidak
ada pendapat yang benar atau semua pendapat adalah sama benarnya.
Bisa dilihat dengan jelas dari
definisi diatas, yaitu paham Pluralisme meyakini didalamnya, yaitu ideolgi yang
mencurigai kebenaran. Masyarakat Barat sudah tidak lagi berpegang pada suatu
dasar apapan. Mereka dipaksa untuk mempercayai tidak adanya kebenaran tunggal
yang berart, semua hal disana adalah sesuatu yang benar adanya. Oleh itu,
mereka tidak boleh meyakini bahwa kepercayaan atau agama yang mereka anut
adalah agama yang benar atau yang paling benar. Jika tidak, maka mereka akan
dianggap jahat dan intoleran.
Seperti yang dikatakan Charless
Kimbal; “Salah satu ciri Agama yang jahat adalah Agama yang memiliki klaim
kebenaran mutlas atas agamanya sendiri.” Maka dari itu, solusi atau jalan
keluar yang mereka pikirkan ketika adanya permasalahan ini adalah dengan
menyamaratakan semua agama. Semua agama adalah benar, dan setiap dari agama itu
menuju pada tuhan yang sama. Hal ini mereka simpulkan karena mereka mengira
bahwasannya agama hanyalah persepsi manusia yang relative ada tuhan yang
mutlak. Maka dari itu, mereka tidak mempercayai adanya kebenaran yang mutlak
adanya.
Dalam buku The Secular City, Harvey Cox
mengatakan mengenai defini pluralsime yakni, Pluralisme agamat atau Religious
Pluralism adalah sebuah paham yang merujuk didalamnya mengenai
‘pluralitas.’ Dalam makna ini, didalamnya ada pandangan yang melihat bagaimana
keberagaman agama agama yang begitu banyak dan beragam. Apakah dari banyaknya
agama itu, hanya salah satu diantaranya yang benar, atau semua agama meruakan
agama yang benar? Meski istilah pluralisme ini muncul pertama kalinya dari
barat, namun pada mulanya istilah ini tidak ada bahkan dikenal dalam teolog
resmi gereja. Yang pada awalnya tidak ada bahkan dimusuhi dengan kejamnya,
menjadi diterima bahkan dicari cari oleh mereka legitimasinya dalam bible. [1]
Sejarah Pluralisme
Pluralisme Agama, puncak munculnya ada pada
abad ke-20 yang dianggap oleh Barat, munculnya dikarenakan banyak peristiwa
pertumpahan darah yang banyak terjadi di dunia akibat sikap eksklusif dalam
mendakwa kebenaran (Truth Claim).
Pada adab ke-17 Masehi, terjadi perang besar di Eropa sebab sikap eksklusif dan
dogmatik para penganut Yahudi dan Nasrani, yang berdampak menimbulkan
ketegangan di antara para penganut Agama lain. Karena itu, Barat mempercayai Pluralisme adalah jalan keluar satu-satunya
bagi masalah yang sedang rancaknya terjadi. Oleh itu, akar dari Pluralisme ada
pada sejarah dan pengalaman masyarakat Barat.[2]
Jika kita menelusuri kembali awal
kedatangannya, kaum Nasrani lah yang pertama kali mengambil sikap ini terhadap
Agama lain. Sejak adab ke-3, Nasrani mengungkapkan sikap ini yang berbunyi; “exstra
ecclesiam nulla salus” yang berarti “diluar gereja tiada keselamatan.”
Dalam al-Qur’an juga diceritakan sikap eksklusif kaum Nasrani dan Yahudi dalam
surat al-Baqarah ayat 111; “Dan mereka yahudi dan nasrani berkata pula: ‘Tidak
sekali-kali akan masuk surga melainkan orang-orang yang berAgama Yahudi atau
Nasrani’. Yang demikian itu hanyalah angan-angan mereka sahaja.
Katakanlah Muhammad: ‘Bawalah kemari keterangan-keterangan yang membuktikan
kebenaran apa yang kamu katakan itu, jika betul kamu orang-orang yang benar”.
Munculnya eksklusifisme, menimbulkan reaksi
yang menyebabkan munculnya inklusifisme. Yaitu paham yang menganggap bahwa
orang yang diluar gereja pada hakikatnya juga berada dalam gereja, karena tuhan
maha penyayang semua makhluk, maka inilah yang disebut dengan “invincible
ignorance” oleh Vatikan pada tahun 1854. Atau yang disebutkan oleh Karl
Rahner, yaitu orang-orang dari Agama lain akan mendapat keselamatan dengan
rahmat tuhan walaupun tetap dalam Agama mereka, karena mereka adalah ‘anonymous
Christians’. Karena banyak ahli teologi yang mendukung teori inklusif,
menunjukkan peralihan dari eksklusif kepada inklusif.
Meski begitu, inklusif masih dianggap masih
melihat Agama lain dengan perspektif Agamanya sendiri yang dianggap lebih
unggul. Berbeda dengan Pluralisme yang menilai Agama lain dengan perspektif
yang kononnya lebih terbuka. Oleh itu, diperkenalkanlah Pluralisme sebagai
jalan keluarnya. Kekeliruan dalam menilai kebenaran, membuat mereka menjadi
semakin jauh dari kebenaran itu sendiri. Maka sudah selayaknya bagi umat Islam
yang diberikan cahaya terang benderang oleh Allah, untuk tidak mengikuti
langkah masyarakat barat yang sudah sangat keliru dalam mengambil langkah.
Pluralisme diciptakan oleh beberapa ahli
teologi kristen liberal seperti Wilfred Cantwell Smith (1916 - 2000) dan John
Hick (1979 - 2012). Mereka lah yang
menulis berbagai deologi pluralisme lewat buku-buku yang telah banyak dibaca
publik seperti; The End and Meaning of Religion (1962), God Has Many
Names (1980), Faith and Belief (1979), Problems of Religion
Pluralism (1985). Lewat buku-buku inilah, sebagian umat Muslim cenderung
mengikuti idea dan gagasan mereka dan menolak kesepakatan para ulama’ Islam di
sepanjang zaman.[3]
Alasan Barat Ingin Dunia Menerima Pluralisme
Setidaknya, menurut mereka ada tiga
hal yang menjadi alasan mereka menginginkan dunia untuk menerima paham
pluralisme. Pertama, keyakinan mereka yang anggap tidak adanya kebenaran
sejati (Relatifisme). Seperti yang telah saya katakana di atas, barat tidaklah
mempercayai kebenaran sejati dikarenakan keyakinan mereka mengenai agama
hanyalah persepsi manusia yang relative atas tuhan yang mutlak. Maka dari itu,
setiap masalah yang ada, akan dianggap benar oleh mereka dari mana seseorang
itu memandang. Dalih yang mereka gunakan ialah seperti perumpamaan empat orang buta yang sedang memegang badan
seekor sapi. Dari keempat itu, ada salah satu yang memegang ekor, kepala, kaki,
dan badan. Setiap dari pada orang tersebut merasakan ha yang berbeda, dari
mulai ukuran dan juga bentuk. Namun, anggap mereka, semuanya tetap memegang
satu hal yang sama, yaitu sapi. Meskipun masing masing orang memegang dari
bagian atau sudut yang berbeda beda.
Perumpamaan yang mereka buat dan yakini adalah
suatu pendapat yang lemah sedari awal adanya. Karena yang mereka gambarkan
diatas adalah agam yang orang orangnya adalah buta, sedang sudah sedari awal,
setiap manusia diberi oleh Allah yakni panca indra, akal serta khabar shadiq
untuk melihat kebenaran yang sesunguhnya. Bukan hanya melihat sebagian dalam
satu aspek sempit, namun kebenaran secara menyeluruh. Namun demikian, mereka
tidak mengakui akan kesempitan pikiran mereka. Justru, orang yang menganggap agamanya
benar lah yang dianggap berpikiran sempit, kuno, intoleran, jahat, dll.
Dengan dalih Hak Asasi Manusia dan
Toleransi, mereka rela mengukung diri sendiri kedalam kesesatan dalam lingkup
yang sangat sempit.
Padahal makna toleransi sebenarnya adalah,
menghormati perbedaan tanpa membenarkan perbedaan yang ada. Jadi sudah jelas,
kalau sememangnya kita tidak membenarkan perbedaan yang ada, tanpa
membenarkannya. Jika kita membenarkan perbedaan dan ikut mmepercayainya, maka
dimanakah letak perbedaaannya? Gambaran yang benar mengenai perbedaan adalah
seperti hal nya seorang murid yang sedang mengerjakan ujian bersama dengan
teman temannya. Jawaban dia dan temannya, bisa jadi berbeda. Namun dengan
perbedaan jawaban tersebut, sang murid tidak membenarkan apa yang dipercayai
temannya, melainkan menghormatinya sebagia sesama peserta ujian yang memiliki
keyakinan masing masing dalam memilih jawaban dari soal. Jikalau ia membenarkan
jawaban temannya, maka yang namanya perbedaan jawaban antara dirinya dan temannya
itu tidak ada. Karena ia sama sama membenarkan sesuatu yang berbeda. Sesuatu
yang kontradiktif, yang jelas jelas tidak bisa diterima akal sehat.
Kedua, konflik antara umat beragama. Seperti yang sudah saya jelaskan, bahwa Barat
pernah mengalami trauma akan agama dikarenakan adanya konflik antara satu agama
dengan agama lainnya. Oleh itu, mereka menanamkan prinsip “Agama adalah suatu
konflik” yang dimana, hal itu meyebabkan munculnya berbagai paham baru, salah
satu nya Pluralisme. Dengan Pluralisme, mereka tidak mempercayai adanya kebenaran
yang pasti dalam setiap agama. Dengan begitu, tidak masalah bagi mereka untuk
mengganti agama satu denagn yang lainnya di setiap waktu maupun tempat. Seperti
hal nya baju, mereka bisa menggganti gantinya dengan sesuka hati kapanpun
mereka menginginkannya. Hal ini mereka sebut dengan “The Real Unity.”
Namun demikian, yang menjadi pertanyaannya
adalah, apakah benar semua konflik adalah agama yang menjadi sumbernya? Lalu
bagaimana dengan perang dunia satu dan dua? Bagaimana dengan perang dingin?
Apakah agama yang menjadi sumber dari keduanya? Juga, apakah ketika kita meyakini
sesuatu itu sebagai perkara yang benar, kita telah memusuhi yang yang berbeda
dengan keyakinan kita? Bukankah kita bisa menghormati segala perbedaan tersebut
dengan cara tidak mengejek, mengganggu,
ataupun mengkritik mereka? Kita hanyalah sekadar yakini bahwa apa
yang kita yakini benar, dan yang mereka yakini adalah salah. Dan ita tidak akan
menggunakan cara memusuhi untuk mengaktualisasikan pengetahuan kita pada
mereka. Mudah bukan?
Adapun mengenai keyakinan kaum Pluralis bahwa
tidak adanya kebenaran yang absolut, kita bisa membantah atau
menjawabnya dengan cara bertanya kepada mereka, jika semua perkara itu berubah
kepada kebenaran yang relativ, maka apa jadinya manusia tanpa pegangan yang
tetap? Bukankah ketika semua diyakini akan terus berubah ia hanya akan berada
dalam situasi bingung dan resah. Seperti hal nya masalah yang dialami oleh
masyarakat agama kristen, yang dimana dalam agama kristen snagat mengharamkan
LGBT bahkan tidak akan tanggung menyiksa dan membunuhnya, pada yahun 2003
justru uskup agama mereka sendiri lah yang pertama kali melaukannya. Yakni,
pada saat itu terjadi pernikahan sesama jenis antara uskup Gene Robinson dan
Mark Andrew di gereja Alikan (New Hampshire). Sungguh bingung masyarakat
Kristen ketika mengetahui akan hal itu. Bagaimana tidak, ketika mereka dilaang
untuk malakukan Homoseks oleh Gereja mereka, namun di saat yang sama justru
pemimpin mereka lah yang melakukannya dengan terbuka dan melegalkannya di depan
publik. Bukankah ini merupakan musibah yang justru membuat mereka bingung
dikarenakan terus berubahnya hukum sejalan dengan berkembangnya zaman?[4]
Maka dari itu, dalam islam sudah diajarkan
mengenai sumber ilmu atau kebenaran itu ada tiga. Pertama, panca indra manusia.
Rasa dalam lidah, bau dalam hidung, suara dalam telinga, tekstur dalam kulit,
dan warna dalam mata adalah termasuk salah satu epistemologi yang diajarkan
dalam islam, dan manusia pada umumnya bisa menggunakan panca indra yang lima
ini untuk mengetahui adanya kebenaran. Kedua, akal yang waras (sehat). Seperti
angka 10 lebih besar daripada angka 3, sesuatu yang bertolak belakang atau
kontrsdiktif tidak bisa terjadi bersamaan dalam satu waktu, adanya tuhan sang
pencipta alam semesta, anak kandung tidak lebih tua daripada ibunya, dan sebagainya
yang merupakan hukum akal yang sudah tetap dan tidak bisa balikkan atau diubah.
Kemudian sumber ilmu yang ketiga, ialah
khabar shadiq atau kabar yang benar. Seperti kalam Allah yang ada dalam
al-Qur’an dan hadits, itu adalah kabar yang benar yang disampaikannya oleh
banyaknya orang atau seseorang yang sangat dipercaya kata-katanya dan tidak
mungkin baginya berdusta.[5] Seperti
misalnya, kita mengetahui bahwa kita adalah anak kandung dari ibu kita saat
ini, itu dikarenakan orang orang mengatakan kalau kita anak dari ibu kita, dan
kita mempercayainya tanpa harus repot repot untuk memeriksanya dengan tes DNA
atau sebagainnya untuk membuktikan kalau kita anak dari ibu kita. Sama juga halnya, dengan semua orang yang mempercayai adanya teori
phytagoras dalam ilmu matematika.
Kunci mengapa bagi orang barat bisa berubah
adalah karena mereka menolak wahyu sebagai sumber ilmu. Semua pertanyaan para filosof
atau diri sendiri terhadapt tuhan, manusia ataupun alam, yang dimana mereka
tidak mampu menjawab hanya dengan akal dan indra yang dimilikinya, akan membuat
mereka berkesimpulan bahwa tidak ada kebenaran mutlak. Dan hal ini lah yang
menyebabkan para filosof barat menganggap bahwa bukanlah jawaban yang
terpenting, melainkan pertanyaannya. Maka dengan adanya wahyu, mau dalam bentuk
kalamullah ataupun Hadits Nabi, dengan mudah Islam akan membenarkan
suatu perkara secara mutlak.[6]
Ketiga, Intoleran. Seperti yang sudah saya katakan diatas, bahwa
setelah mereka mengalami masa kegelapan dan trauma akan agama, mereka
mendirikan saru konsep. Yakni siapapun yang menganggap bahwa hanya agamanyalah
yang benar, maka saat itulah dia akan dianggap jahat, intoleran dan sombong. Padahal
pada hakikatnya, tidak mesti seseorang itu dianggap intoleran dan
sombong hanya dengan dia menganggap suatu hal itu benar, dengan tanpa memusuhi.
Hal ini sudah dibuktikan sejak dahulu, yakni zaman Nabi Muhammad. Beliau dan
umat islam yang lain bisa denga damai hidup berdampingan dengan umat yahudi.
Nabi mengajarkan, bahwa janganlah kita meleburkan keimanan, hanya demi
toleransi dan persatuan antar agama (QS. al-Kafirun). Karena pada hakikatnya,
agama berada diatas semua aspek. Jadi jikalau memang ingin hiduo berdampingan,
maka yakinilah kebenran tanpa memusuhi, seperti yang sudah diajarkan Nabi
Muhammad di zaman dahulu. Bukan hanya itu, namun ketika sesudah zaman Nabi,
yakni zaman emas nya islam, ketika Thariq bin Ziyad berhasil menaklukkan
Andalusia. Ia tidak memaksa umat yahudi dan kristen yang ketika itu berada di
andalusia, melainkan hidup berdampinga dengan damai dan tanpa konflik. Lagi
pula, suatu daerah ataupun peradaban akan tumbuh gagah dengan damai dan
harmonis, ketika masyarakat didalmnya yakin akan agama mereka sendiri.
Maka dari itu, yang menjadi masalah internal dalam
masalah ini adalah adab. Mengapa? Karena ketika adab sudah tidak ada bahkan
sama sekali belum terdengar dalam diri seseorang, maka yang terjadi setelahnya
yaitu lahirnya berbagai manusia yang tidak adil. Dan dengan lahirnya mereka,
akan lahir darinya yakni ilmu im yang sudah dibuat sekuler dan rancu akan
kebenaran yang seharusnya. Dan dengan ilmu yang rancu tersebut, muncullah
berbagai paham atau bahkan pemaknaan akan sesuatu yang sangat keliru bahkan
bertolak belakang. Seperti makna dari toleransi. Makna dari toleransi yang
sebenarnya adalah, memahami kekeliruan dan menghormati keberagaman. Bukan malah
sebaliknya, yakni membiarkan kesalahan dan membenarkan kekeliruan. Dengan
memahami makna toleransi yang sebenarnya, maka akan terjalin kerukunan manusia
antar umat beragama.
Oleh itu, kesimpulan yang dapat diambil
adalah, toleransi bukanlah menjalin kerukunan dengan menghormati perbedaan
dengan cara menggugurkan keimanan dan membenarkan kekeliruan. Akan tetapi sebaliknya,
toleransi dengan makna dan pemahaman yang tepat adalah toleransi yang menjalani
kerukunan dengan menghormati perbedaan, yaitu dengan cara memahami kekeliruan
tanpa membenarkan kekeliruan tersebut.
Dampak Pluralisme
Dampak Pluralisme agama, pada umumnya terbagi
menjadi dua bagian. Yaitu dampam Pluralisme secara umum, dan dampaknya terhadap
intelektual muslim. Dalam dampak secara umum, pokok yang menjadi masalah
internal nya adalah, Pluralisme yang awalnya berasal dari barat, ialah andaian mereka
mengenai kebenaran. Mereka menganggap, bahwasannya kebenaran dan realita
hanyalah produk sejarah dan bergantung pada diri manusia. Oleh
karenanya, apa yang disebut kebenaran menurut mereka tidaklah partical atau
tidak sempurna dikarenakan, apa yang ada dalam pikiran manusia, itu serba
terbatas dan tidak ada suatu hal yang final dalam setiap manusia, dikarenakan
setiap manusia memiliki jalan pikir yang berbeda dan beragama.
Jika dilihat dari apa yang telah barat buat,
bisa kita lihat bagaimana ciri peradaban yang mencerminkannya. Yaitu dengan
paradigma yang sekular dan liberal yang meruntuhkan semua kebenaran mutlak.
Segala kebeneran telah mereka relatifkan dari segi masa (historicization of
truth), dari segi status sosial (Sociology of knowledge) dan dari
segi sifat dan bahasa manusia yang terbatas (the Limits of languange)
dan juga relatif dari segi hermeneutika. Dari berbagai aspek yang berbagai ini, pemaknaan tentang suatu
perkara sifatnya adalah sementara terbatas. Maka disinilah yang menjadikan
paham pluralisme dianggap penting agar orang tidak dengan mudah mengabsolutkan
yang relatif. Hanya tuhan semata lah yang mengetahui kebenaran yang absolut,
anggap mereka.
Dampak lainnya, ialah banyak dari ilmuan barat
menyimpulkan bahwa setiap agama itu hanyalah bentuk dari perkembangan suatu
kepercayaan yang tidak lengkap, kemudian menjadi sebuah agama atau suatu
tradisi. Khususnya islam, mereka meng-klaim bahwa islam bukanlah suatu
kepercayaan yang lengkap, dan merupakan satu agama yang berasal dari
perkembangan dari kepercayaan menadi suatu tradisi tersendiri. Hal ini dikarenakan,
pada abad ke-19 ramai orang orang islam menulis buku yang meletakkan islam
sebagai satu satunya agama resmi (institutionalized religion). Kemudian
untuk membantah hal ini maka salah seorang dari pada ilmuan atau filosof barat,
yakni Wilfred Cantwell Smith, menulis sebuah buku yang berjudul Towards a
World Theology, yang dimana ia mengajak orang orang untuk meyakini
Pluralisme Agama dan membantah Islam mengenai agama satu satunya yang resmi.
Kemudian dampak Pluralisme terhadap intelekual
Muslim ialah, munculnya bahkan sangat banyak para intelektual muslim yang sudah
teracuni dan terjebak oleh faham ini, dan menggunakan al-Qur’an dan Hadits
sebagai pegangan atau dalil bagi argumen mereka menganai pluralisme Agama.
Salah satu yang mencetuskannya adalah Osman Bakar dari Malaysia. Dia bersepakat
bahwasanya Islam tidak menghapuskan agama agama yang lain. Ia menggunakan ayat
al-Qur’an sebagai dalil atas argumennya dalam surat Al-Baqarah ayat 62.
Baginya, ayat tersebut menunjukkah bahwasannya Al-Qur’an mengiktiraf keimanan
kaum yahudi dan Nasrani. Selain itu, adalah Mohammad Ayoub, yang menjadi salah
satu sumber Osman Bakar dalam pendapatnya mengenai Pluralisme agama, juga
menafsirkan beberapa ayat dalam al-Qur’an degan kaidah tersendiri untuk
membenarkan faham pluralisme. Salah satunya adalah ayat ke-85 dalam surat
ali-Imran. Menurutnya, yang dimaksud dengan penyerahan diri adalah penyerahan
diri dalam bentuk apa saja, dimana saja, dan bagaimana saja.
Pengaruh pluralisme agama tidak hanya pada
golongan Intelektual muslim saja, namun juga menyebar kepada tokoh tokoh
politik yang mengikuti pemikiran para intelektuan tertentu tersebut. Mereka
mengatakan, bahwa pluralisme bukanlah sesuatu yang baru, melainkan sudah
berakar dan diterima dalam trsdisi keilmuan islam. Maka sudah wajar, lanjut
mereka, yaitu umat islam hari ini untuk bersikap inklusif dan pluralis
terhadaptumat agama lain. [7]
Solusi dan Jawaban untuk Pluralisme
Jawaban bagi pernyataan pluralisme agama
adalah, kita tanyakan balik pada mereka yang memperayainya. Apakah benar semua
agama itu benar? Kalau memang demikian, apakah sudah ada diantara mereka yang
meneliti semua agama di dunia ini yang berjumlah lebih dari 4200
agama? Bukankah mereka hanya meneliti beberapa agama dan setelahnya langsung
menyimpulkan bahwa semua agama itu benar? Apakah paham ini bisa diterima
begitu saja jika yang semua agama di dunia saja belum dia teliti. Juga jika
direnungkan kembali, mereka yang meyakini pluralisme Agama, paham yang
menyatukan bahwa semua agama adalah sama saja, sejatinya mereka sangatlah dekat
dengan ateisme. Ketika seseorang menyatakan “semua agama benar” maka melekat
pada perkataan tersebut, yakni makna “semua agama salah”. Sebab, Tuhan yang digambarkan
oleh kaum Pluralis adalah Tuhan yang abstrak, boleh digambarkan dengan apa
saja, sifatnya apa saja, nama apa saja, dan cara apapun untuk menyembahnya pun
bebas. Tuhan da,am gambaran mereka adalah tuhan yang abstrak, tidak bisa
digambarkan secara final, tidak ada sifat yang final. Dengan membebaskan
menggambarkan tuhan mereka, maka dalam satu waktu, tuhan bisa berwujud patung.
Dalam satu waktu di tempat yang lain, tuhan dalam digambarkan dalam wujud
pohon, kertas, bahkan makanan. Sangatlah abstrak. Tidak ada yang final.
Dengan begitu, maka sudah jelas pendapat
mereka mengenai semua agam itu benar adalah salah. Karena tidak mungkin dalam
satu waktu yang sama, tuhan menghalalkan babi dan mengharamkannnya.
Menghalalkan seks bebas dan mengharamkannnya. Mengharamkan khamar dan
menghalalkannya. Dua hal yang sangat bertolak blakang terjadi dalam satu hal
adalah suatu yang tidak bisa diterima dalam akal manusia yang masih waras dan
sehat. Oleh itu, orang yang menganut kepercayaan pluralisme disebut dengan orang
yang tak berpendidikan. Sebab, meski mereka yang menganut paham ini sudah
bergelar tinggi, kalau ia masih mengikuti paham yang didalamnya ada hal yang
kontradiksi, maka hal itu membuktikan bahwa mereka tidak menggunakan akal
mereka dengan baik. Mereka menafikan kebenaran akal hanya demi mempercaya ego
sendiri yang menyebabkan sesat menyesatkan.
Terlepas dari pada itu semua, jika memang
semua agama benar dan menuju pada tuhan yang sama, maka untuk apa Nabi Muhammad
menyuruh umatnya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat yang mengandung tidak
ada tuhan selain Alla? Dari pada itu, untuk apa nabi diutus? Untuk apa Nabi
mengatakan “akan masuk Neraka mereka yang tidak masuk Islam”? untuk apa Nabi
mengajak orang orang pada agama islam jika semua agama sudah benar adanya?
Terlebih lagi, untuk apa Allah menurunkan firmanya dalam surah al-Fatihah yang
maknanya merujuk pada kenyataan bahwa hanya ada satu jalan yang lurus, dan yang
lain adalah belok. Oleh itu, sangat lah aneh bahkan bodoh orang yang mengakuk
islam namun membenarkan semua agama. Karena pada hakikatnya, sudah dengan jelas
Allah dan Rasulnya mengatakan bahwa ada pembeda dengan tuhan dalam agama islam
dan agama yang lain. Islam membedakan antara tauhid dan syirik dengan jelas
dalam Al-Qur’an ( 31:13, 4:48, 15:88-91). [8]
Terlebih lagi, jika kita memperhatikan dengan
saksama, kita akan menemukan fakta bahwa ketika ada seseorang yang mencampur
adukkan Agama, maka yang ia yakini bukanlah membawa pada suatu jalan keluar
dari permasalahan antar umat beragama. Melainkan, akan membawa pada konflik dan
masalah baru yang menyebabkan perpecahan dan tunbuhnya agama baru yang dimana,
agam tersebut tidak meyakini satu agama pun benar, dan juga tidak meyakini
satupun agama yang salah. Dalam hal ini, gambaran yang tepat untuk menggambarkan
Pluralisme Agama adalah, dimana ketika seseorang membeli bubur, cakwe, ayam,
bawang goreng, kecap, bumbu dan sate yang setelahnya ia campurkan semua itu
kedalam satu wadah. Dengan begitu, yang ada dalam wadah tersebut bukanlah lagi
bubur, ayam ataupun cakwe. Melainkan satu makanan baru yang diberi nama “Bubur
ayam Spesial”. Begitu juga dengan Pluralisme Agama. Ketika ia sudah
mencampurkan semua agama, maka ia telah menciptakan agama baru, yang memiliki
pendapat yang tidak konsisten dan juga kontradiktif.
Selain itu, jika diperhatikan lagi, maka kita
bisa temukan bahwasannya sejak awal, pendapat kaum Pluralis ini adalah sesuatu
yang tidak konsisten. Sebab, mereka mengatakan bahwasanya tidak akan kebenaran
sejati, tidak boleh mengklaim bahwa hanya agama nya sendiri lah yang benar,
namun pada saat yang sama, ia telah meyakini agama nya sendiri yang paling
benar, yakni Pluralisme agama. Jika memang mereka membenarkan semua agama,
mengapa mereka repot repot mengajak orang untuk percaya pluralisme agama? Bukanlah
hal itu bertolak belakang dengan apa yang mereka katakan? Kata kara mereka yang
berbunyi “semua agama benar” itu bukankah sudah merupakan kebenaran tersendiri?
Dan juga, mereka mengatakan bahwa agama lain intoleran, namun pada saat yang
sama justru mereka lah yang berlaku intoleran. Karena, ia hanya meyakini agama
nya lah yang benat, yakni agama pluralis. Agama, dibuat sejatinya untuk
diyakini kebenarannya, dan dengan begitu yang lain menjadi salah. Kalo memang
semua hal itu sama, maka apa gunanya
agama?
Ustadz Adian Husaini pernah mengatakan,
bahwasannya untuk menajadi Real Submission adalah dengan mengikuti Nabi
Terakhir, yakni Nabi Muhammad, dan apa yang sudah dicontohkan nabi adalah
contoh yang sah dan final, tidak ada yang salah dan mengambang pemahamannya.
Hal ini dikarenakan, subbmission adalah manifestasi, konfirmasi, dan
juga afirmasi dari keyakinan yang benar. Mulai dari masalah sepele hingga
masalah yang dianggap serius, sudah Nabi ajarkan dalam agama islam secara
mutlak, dan tidak pernah berubah gerakannya sejak 1400 tahun yang lalu hingga
saat ini.
Penutup
Akar dalam masalah konflik antar agama ini
adalah, tidak sadarnya para penganut agama akan adanya perbedaan agamanya
dengan agama orang lain. Dengan begitu, mereka selalu mencari kesalahan darinya.
Oleh itu, setiap agama sudah selayaknya untuk sadar. Bahwa setiap agama dan
keyakinan itu memiliki perbedaan tersendiri dengan agama lainnya. Dan dengan
begitu, sesama penganut agama hatuslah menghormati perbedaan tersebut dengan
cara tidak mengganggunya, bukan dengan cara memusuhinya. Itulah makna toleransi
yang sebenarnya. Mungkin cukup sekian tulisan mengenai pluralisme agama ini,
semoga apa yang saya sampaikan bisa memberikan manfaat bagi semuanya. Terlepas
dari kesalahan saya, saya minta maaf apabila ada silap kata, karena sejatinnya
kebenaran datangnya dari Allah, dan kesalahan datangnya dari saya. Wallahu
A’lam***
[1] Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, Depok: GEMA
INSANI tahun 2021, hal 334
[2] Telah berlaku peperangan yang lama di Eropa pada abad ke
17 Masehi yang dipangggil dengan sebutan “The Thirty Years” War atau juga Sectarian Wars. Peperangan
ini pada dasarnya disebabkan oleh
perbedaan kepercayaan di kalangan penganut kristian sendiri.
[3] Khalif Muammar, Islam dan Pluralisme Agama: Memperkukuh
Tawhid di Zaman Kekeliruan, Kuala Lumpur, Malaisya: CASIS tahun 2013, hal 7
[4] Fatih Madini, Reformasi Pemikiran Pendidikan Kita,
Depok: YPI At-Taqwa, tahun 2020, hal 28
[5] Muhammad Ardiansyah, 10 Logika Liberal dan Jawabannya,
DEPOK: Indie Publishing, tahun 2012, hal 110
[6] ibid, hal 29
[7] Khalif Muammar, Islam dan Pluralisme Agama: Memperkukuh
Tawhid di Zaman Kekeliruan, Kuala Lumpur, Malaisya: CASIS tahun 2013, hal
45
[8] Adian Husaini, 10 Kuliah Agama Islam: Panduan Menjadi
Cendikiawan Mulia dan Bahagia, Jogjakarta: Pro-U Media, tahun 2016, hal 79
Komentar
Posting Komentar