Pluralisme Agama: Definisi Sampai Dampak dan Solusinya

 


Pluralisme Agama:
Definisi Sampai Dampak dan Solusinya

(Rangkuman Mata Pelajaran Islamic Worldview Dalam Bab Pluralisme dan Beberapa Sumber Lainnya)

Oleh: Alfidhiya Zitazkiya Fika

 

Pendahuluan

Pada kesempatan kali ini, saya akan membahas tentang salah satu paham, yang sejak awal abad ke-20 sedang mengalami puncak munculnya. Paham yang akan saya bahas tidak lain adalah paham Pluralisme. Pluralisme, adalah satu paham yang dewasa kini sedang gencar menyerang dunia agama, khususnya dunia Islam. Jika sejak dahulu Islam sudah menerima segala serangan dari luar dengan serangan berdarah, maka serangan yang kali ini barat lakukan adalah serangan yang tak kasat mata, yakni serangan pemikiran. Senjata yang bisa melukai tubuh, akan terlihat dengan jelasdampak dan bahaya yang akan menanti jika tidak dihindari. Namun, senjata akal pikiran yang tidak kasat mata, tidak akan disadari oleh banyaknya orang dikarenakan hanya sedikit oarng yang bisa memahami adanya bahaya dan dampak yang besar dibalik serangan pemikiran tersebut.

Orang yang tidak mengetahui bahayanya akan paham ini, mereka mengira bahwa apa yang diyakini oleh paham ini adalah suatu pembaharuan dari paham kuno menjadi paham yang modern, seperti yang telah barat katakan. Padahal pada hakikatnya, apa yang barat ciptakan hanyalah suatu paham yang menyebabkan bertambahnya konflik terus menerus. Banyaknya orang yang menyalahpahami Pluralisme itu dikarenakan, dafinisi serta pengertian plralisme yang menyebar sudah diubah dengan pengertian yang membuat orang tertarik dan tidak sadar akan adanya suatu dampak besar jika mengikutinya. Maka dari itu, disini saya akan membahas Pluralisme dengan pemahaman yang sebenarnya, agar umat islam tidak lagi tertipu dengan apa apa yang sudah mereka katakana.

Difinisi Pluralisme   

Dalam The Golier Webster Int. Dictionary Of The English Language; Oxford Dictionary of Philosophy; Oxford Advanced Learners Dictionary of Current English, dikatakan di dalamnya mengenai definisi Pluralisme yang terbagi menjadi dua yakni; Pertama, Pengakuan terhadap kualitas majemuk atau toleransi terhadap kemajemukan. Kedua, Doktrin yang berisi didalamnya lima hal; Pertama, pengakuan terhadap kemajemukan prinsip tertinggi. Kedua, pernyataan tidak ada jalan untuk menyatakan kebenaran yang tunggal atau kebenaran satu-satunya tentang suatu masalah. Ketiga, ancaman bahwa tidak ada pendapat yang benar, atau semua pendapat itu sama benarnya. Keempat, teori yang seirama dengan relativisme dan sikap curiga terhadap kebenaran (truth). Kelima, pandangan bahwa disana tidak ada pendapat yang benar atau semua pendapat adalah sama benarnya.

Bisa dilihat dengan jelas dari definisi diatas, yaitu paham Pluralisme meyakini didalamnya, yaitu ideolgi yang mencurigai kebenaran. Masyarakat Barat sudah tidak lagi berpegang pada suatu dasar apapan. Mereka dipaksa untuk mempercayai tidak adanya kebenaran tunggal yang berart, semua hal disana adalah sesuatu yang benar adanya. Oleh itu, mereka tidak boleh meyakini bahwa kepercayaan atau agama yang mereka anut adalah agama yang benar atau yang paling benar. Jika tidak, maka mereka akan dianggap jahat dan intoleran.

Seperti yang dikatakan Charless Kimbal; “Salah satu ciri Agama yang jahat adalah Agama yang memiliki klaim kebenaran mutlas atas agamanya sendiri.” Maka dari itu, solusi atau jalan keluar yang mereka pikirkan ketika adanya permasalahan ini adalah dengan menyamaratakan semua agama. Semua agama adalah benar, dan setiap dari agama itu menuju pada tuhan yang sama. Hal ini mereka simpulkan karena mereka mengira bahwasannya agama hanyalah persepsi manusia yang relative ada tuhan yang mutlak. Maka dari itu, mereka tidak mempercayai adanya kebenaran yang mutlak adanya.

Dalam buku The Secular City, Harvey Cox mengatakan mengenai defini pluralsime yakni, Pluralisme agamat atau Religious Pluralism adalah sebuah paham yang merujuk didalamnya mengenai ‘pluralitas.’ Dalam makna ini, didalamnya ada pandangan yang melihat bagaimana keberagaman agama agama yang begitu banyak dan beragam. Apakah dari banyaknya agama itu, hanya salah satu diantaranya yang benar, atau semua agama meruakan agama yang benar? Meski istilah pluralisme ini muncul pertama kalinya dari barat, namun pada mulanya istilah ini tidak ada bahkan dikenal dalam teolog resmi gereja. Yang pada awalnya tidak ada bahkan dimusuhi dengan kejamnya, menjadi diterima bahkan dicari cari oleh mereka legitimasinya dalam bible. [1]

Sejarah Pluralisme

Pluralisme Agama, puncak munculnya ada pada abad ke-20 yang dianggap oleh Barat, munculnya dikarenakan banyak peristiwa pertumpahan darah yang banyak terjadi di dunia akibat sikap eksklusif dalam mendakwa kebenaran  (Truth Claim). Pada adab ke-17 Masehi, terjadi perang besar di Eropa sebab sikap eksklusif dan dogmatik para penganut Yahudi dan Nasrani, yang berdampak menimbulkan ketegangan di antara para penganut Agama lain. Karena itu, Barat mempercayai Pluralisme adalah jalan keluar satu-satunya bagi masalah yang sedang rancaknya terjadi. Oleh itu, akar dari Pluralisme ada pada sejarah dan pengalaman masyarakat Barat.[2]

Jika kita menelusuri kembali awal kedatangannya, kaum Nasrani lah yang pertama kali mengambil sikap ini terhadap Agama lain. Sejak adab ke-3, Nasrani mengungkapkan sikap ini yang berbunyi; “exstra ecclesiam nulla salus” yang berarti “diluar gereja tiada keselamatan.” Dalam al-Qur’an juga diceritakan sikap eksklusif kaum Nasrani dan Yahudi dalam surat al-Baqarah ayat 111; “Dan mereka yahudi dan nasrani berkata pula: ‘Tidak sekali-kali akan masuk surga melainkan orang-orang yang berAgama Yahudi atau Nasrani’. Yang demikian itu hanyalah angan-angan mereka sahaja. Katakanlah Muhammad: ‘Bawalah kemari keterangan-keterangan yang membuktikan kebenaran apa yang kamu katakan itu, jika betul kamu orang-orang yang benar”.

Munculnya eksklusifisme, menimbulkan reaksi yang menyebabkan munculnya inklusifisme. Yaitu paham yang menganggap bahwa orang yang diluar gereja pada hakikatnya juga berada dalam gereja, karena tuhan maha penyayang semua makhluk, maka inilah yang disebut dengan “invincible ignorance” oleh Vatikan pada tahun 1854. Atau yang disebutkan oleh Karl Rahner, yaitu orang-orang dari Agama lain akan mendapat keselamatan dengan rahmat tuhan walaupun tetap dalam Agama mereka, karena mereka adalah ‘anonymous Christians’. Karena banyak ahli teologi yang mendukung teori inklusif, menunjukkan peralihan dari eksklusif kepada inklusif.

Meski begitu, inklusif masih dianggap masih melihat Agama lain dengan perspektif Agamanya sendiri yang dianggap lebih unggul. Berbeda dengan Pluralisme yang menilai Agama lain dengan perspektif yang kononnya lebih terbuka. Oleh itu, diperkenalkanlah Pluralisme sebagai jalan keluarnya. Kekeliruan dalam menilai kebenaran, membuat mereka menjadi semakin jauh dari kebenaran itu sendiri. Maka sudah selayaknya bagi umat Islam yang diberikan cahaya terang benderang oleh Allah, untuk tidak mengikuti langkah masyarakat barat yang sudah sangat keliru dalam mengambil langkah.

Pluralisme diciptakan oleh beberapa ahli teologi kristen liberal seperti Wilfred Cantwell Smith (1916 - 2000) dan John Hick (1979 - 2012).  Mereka lah yang menulis berbagai deologi pluralisme lewat buku-buku yang telah banyak dibaca publik seperti; The End and Meaning of Religion (1962), God Has Many Names (1980), Faith and Belief (1979), Problems of Religion Pluralism (1985). Lewat buku-buku inilah, sebagian umat Muslim cenderung mengikuti idea dan gagasan mereka dan menolak kesepakatan para ulama’ Islam di sepanjang zaman.[3]

Alasan Barat Ingin Dunia Menerima Pluralisme

Setidaknya, menurut mereka ada tiga hal yang menjadi alasan mereka menginginkan dunia untuk menerima paham pluralisme. Pertama, keyakinan mereka yang anggap tidak adanya kebenaran sejati (Relatifisme). Seperti yang telah saya katakana di atas, barat tidaklah mempercayai kebenaran sejati dikarenakan keyakinan mereka mengenai agama hanyalah persepsi manusia yang relative atas tuhan yang mutlak. Maka dari itu, setiap masalah yang ada, akan dianggap benar oleh mereka dari mana seseorang itu memandang. Dalih yang mereka gunakan ialah seperti perumpamaan empat orang buta yang sedang memegang badan seekor sapi. Dari keempat itu, ada salah satu yang memegang ekor, kepala, kaki, dan badan. Setiap dari pada orang tersebut merasakan ha yang berbeda, dari mulai ukuran dan juga bentuk. Namun, anggap mereka, semuanya tetap memegang satu hal yang sama, yaitu sapi. Meskipun masing masing orang memegang dari bagian atau sudut yang berbeda beda.

Perumpamaan yang mereka buat dan yakini adalah suatu pendapat yang lemah sedari awal adanya. Karena yang mereka gambarkan diatas adalah agam yang orang orangnya adalah buta, sedang sudah sedari awal, setiap manusia diberi oleh Allah yakni panca indra, akal serta khabar shadiq untuk melihat kebenaran yang sesunguhnya. Bukan hanya melihat sebagian dalam satu aspek sempit, namun kebenaran secara menyeluruh. Namun demikian, mereka tidak mengakui akan kesempitan pikiran mereka. Justru, orang yang menganggap agamanya benar lah yang dianggap berpikiran sempit, kuno, intoleran, jahat, dll. Dengan  dalih Hak Asasi Manusia dan Toleransi, mereka rela mengukung diri sendiri kedalam kesesatan dalam lingkup yang sangat sempit.

Padahal makna toleransi sebenarnya adalah, menghormati perbedaan tanpa membenarkan perbedaan yang ada. Jadi sudah jelas, kalau sememangnya kita tidak membenarkan perbedaan yang ada, tanpa membenarkannya. Jika kita membenarkan perbedaan dan ikut mmepercayainya, maka dimanakah letak perbedaaannya? Gambaran yang benar mengenai perbedaan adalah seperti hal nya seorang murid yang sedang mengerjakan ujian bersama dengan teman temannya. Jawaban dia dan temannya, bisa jadi berbeda. Namun dengan perbedaan jawaban tersebut, sang murid tidak membenarkan apa yang dipercayai temannya, melainkan menghormatinya sebagia sesama peserta ujian yang memiliki keyakinan masing masing dalam memilih jawaban dari soal. Jikalau ia membenarkan jawaban temannya, maka yang namanya perbedaan jawaban antara dirinya dan temannya itu tidak ada. Karena ia sama sama membenarkan sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang kontradiktif, yang jelas jelas tidak bisa diterima akal sehat.

Kedua, konflik antara umat beragama. Seperti yang sudah saya jelaskan, bahwa Barat pernah mengalami trauma akan agama dikarenakan adanya konflik antara satu agama dengan agama lainnya. Oleh itu, mereka menanamkan prinsip “Agama adalah suatu konflik” yang dimana, hal itu meyebabkan munculnya berbagai paham baru, salah satu nya Pluralisme. Dengan Pluralisme, mereka tidak mempercayai adanya kebenaran yang pasti dalam setiap agama. Dengan begitu, tidak masalah bagi mereka untuk mengganti agama satu denagn yang lainnya di setiap waktu maupun tempat. Seperti hal nya baju, mereka bisa menggganti gantinya dengan sesuka hati kapanpun mereka menginginkannya. Hal ini mereka sebut dengan “The Real Unity.”

Namun demikian, yang menjadi pertanyaannya adalah, apakah benar semua konflik adalah agama yang menjadi sumbernya? Lalu bagaimana dengan perang dunia satu dan dua? Bagaimana dengan perang dingin? Apakah agama yang menjadi sumber dari keduanya? Juga, apakah ketika kita meyakini sesuatu itu sebagai perkara yang benar, kita telah memusuhi yang yang berbeda dengan keyakinan kita? Bukankah kita bisa menghormati segala perbedaan tersebut dengan cara tidak mengejek, mengganggu,  ataupun mengkritik mereka? Kita hanyalah sekadar yakini bahwa apa yang kita yakini benar, dan yang mereka yakini adalah salah. Dan ita tidak akan menggunakan cara memusuhi untuk mengaktualisasikan pengetahuan kita pada mereka. Mudah bukan?

Adapun mengenai keyakinan kaum Pluralis bahwa tidak adanya kebenaran yang absolut, kita bisa membantah atau menjawabnya dengan cara bertanya kepada mereka, jika semua perkara itu berubah kepada kebenaran yang relativ, maka apa jadinya manusia tanpa pegangan yang tetap? Bukankah ketika semua diyakini akan terus berubah ia hanya akan berada dalam situasi bingung dan resah. Seperti hal nya masalah yang dialami oleh masyarakat agama kristen, yang dimana dalam agama kristen snagat mengharamkan LGBT bahkan tidak akan tanggung menyiksa dan membunuhnya, pada yahun 2003 justru uskup agama mereka sendiri lah yang pertama kali melaukannya. Yakni, pada saat itu terjadi pernikahan sesama jenis antara uskup Gene Robinson dan Mark Andrew di gereja Alikan (New Hampshire). Sungguh bingung masyarakat Kristen ketika mengetahui akan hal itu. Bagaimana tidak, ketika mereka dilaang untuk malakukan Homoseks oleh Gereja mereka, namun di saat yang sama justru pemimpin mereka lah yang melakukannya dengan terbuka dan melegalkannya di depan publik. Bukankah ini merupakan musibah yang justru membuat mereka bingung dikarenakan terus berubahnya hukum sejalan dengan berkembangnya zaman?[4]

Maka dari itu, dalam islam sudah diajarkan mengenai sumber ilmu atau kebenaran itu ada tiga. Pertama, panca indra manusia. Rasa dalam lidah, bau dalam hidung, suara dalam telinga, tekstur dalam kulit, dan warna dalam mata adalah termasuk salah satu epistemologi yang diajarkan dalam islam, dan manusia pada umumnya bisa menggunakan panca indra yang lima ini untuk mengetahui adanya kebenaran. Kedua, akal yang waras (sehat). Seperti angka 10 lebih besar daripada angka 3, sesuatu yang bertolak belakang atau kontrsdiktif tidak bisa terjadi bersamaan dalam satu waktu, adanya tuhan sang pencipta alam semesta, anak kandung tidak lebih tua daripada ibunya, dan sebagainya yang merupakan hukum akal yang sudah tetap dan tidak bisa balikkan atau diubah.

Kemudian sumber ilmu yang ketiga, ialah khabar shadiq atau kabar yang benar. Seperti kalam Allah yang ada dalam al-Qur’an dan hadits, itu adalah kabar yang benar yang disampaikannya oleh banyaknya orang atau seseorang yang sangat dipercaya kata-katanya dan tidak mungkin baginya berdusta.[5] Seperti misalnya, kita mengetahui bahwa kita adalah anak kandung dari ibu kita saat ini, itu dikarenakan orang orang mengatakan kalau kita anak dari ibu kita, dan kita mempercayainya tanpa harus repot repot untuk memeriksanya dengan tes DNA atau sebagainnya untuk membuktikan kalau kita anak dari ibu kita. Sama juga halnya, dengan semua orang yang mempercayai adanya teori phytagoras dalam ilmu matematika.

Kunci mengapa bagi orang barat bisa berubah adalah karena mereka menolak wahyu sebagai sumber ilmu. Semua pertanyaan para filosof atau diri sendiri terhadapt tuhan, manusia ataupun alam, yang dimana mereka tidak mampu menjawab hanya dengan akal dan indra yang dimilikinya, akan membuat mereka berkesimpulan bahwa tidak ada kebenaran mutlak. Dan hal ini lah yang menyebabkan para filosof barat menganggap bahwa bukanlah jawaban yang terpenting, melainkan pertanyaannya. Maka dengan adanya wahyu, mau dalam bentuk kalamullah ataupun Hadits Nabi, dengan mudah Islam akan membenarkan suatu perkara secara mutlak.[6]

Ketiga, Intoleran. Seperti yang sudah saya katakan diatas, bahwa setelah mereka mengalami masa kegelapan dan trauma akan agama, mereka mendirikan saru konsep. Yakni siapapun yang menganggap bahwa hanya agamanyalah yang benar, maka saat itulah dia akan dianggap jahat, intoleran dan sombong. Padahal pada hakikatnya, tidak mesti seseorang itu dianggap intoleran dan sombong hanya dengan dia menganggap suatu hal itu benar, dengan tanpa memusuhi. Hal ini sudah dibuktikan sejak dahulu, yakni zaman Nabi Muhammad. Beliau dan umat islam yang lain bisa denga damai hidup berdampingan dengan umat yahudi. Nabi mengajarkan, bahwa janganlah kita meleburkan keimanan, hanya demi toleransi dan persatuan antar agama (QS. al-Kafirun). Karena pada hakikatnya, agama berada diatas semua aspek. Jadi jikalau memang ingin hiduo berdampingan, maka yakinilah kebenran tanpa memusuhi, seperti yang sudah diajarkan Nabi Muhammad di zaman dahulu. Bukan hanya itu, namun ketika sesudah zaman Nabi, yakni zaman emas nya islam, ketika Thariq bin Ziyad berhasil menaklukkan Andalusia. Ia tidak memaksa umat yahudi dan kristen yang ketika itu berada di andalusia, melainkan hidup berdampinga dengan damai dan tanpa konflik. Lagi pula, suatu daerah ataupun peradaban akan tumbuh gagah dengan damai dan harmonis, ketika masyarakat didalmnya yakin akan agama mereka sendiri.

Maka dari itu, yang menjadi masalah internal dalam masalah ini adalah adab. Mengapa? Karena ketika adab sudah tidak ada bahkan sama sekali belum terdengar dalam diri seseorang, maka yang terjadi setelahnya yaitu lahirnya berbagai manusia yang tidak adil. Dan dengan lahirnya mereka, akan lahir darinya yakni ilmu im yang sudah dibuat sekuler dan rancu akan kebenaran yang seharusnya. Dan dengan ilmu yang rancu tersebut, muncullah berbagai paham atau bahkan pemaknaan akan sesuatu yang sangat keliru bahkan bertolak belakang. Seperti makna dari toleransi. Makna dari toleransi yang sebenarnya adalah, memahami kekeliruan dan menghormati keberagaman. Bukan malah sebaliknya, yakni membiarkan kesalahan dan membenarkan kekeliruan. Dengan memahami makna toleransi yang sebenarnya, maka akan terjalin kerukunan manusia antar umat beragama.

Oleh itu, kesimpulan yang dapat diambil adalah, toleransi bukanlah menjalin kerukunan dengan menghormati perbedaan dengan cara menggugurkan keimanan dan membenarkan kekeliruan. Akan tetapi sebaliknya, toleransi dengan makna dan pemahaman yang tepat adalah toleransi yang menjalani kerukunan dengan menghormati perbedaan, yaitu dengan cara memahami kekeliruan tanpa membenarkan kekeliruan tersebut.

Dampak Pluralisme

Dampak Pluralisme agama, pada umumnya terbagi menjadi dua bagian. Yaitu dampam Pluralisme secara umum, dan dampaknya terhadap intelektual muslim. Dalam dampak secara umum, pokok yang menjadi masalah internal nya adalah, Pluralisme yang awalnya berasal dari barat, ialah andaian mereka mengenai kebenaran. Mereka menganggap, bahwasannya kebenaran dan realita hanyalah produk sejarah dan bergantung pada diri manusia. Oleh karenanya, apa yang disebut kebenaran menurut mereka tidaklah partical atau tidak sempurna dikarenakan, apa yang ada dalam pikiran manusia, itu serba terbatas dan tidak ada suatu hal yang final dalam setiap manusia, dikarenakan setiap manusia memiliki jalan pikir yang berbeda dan beragama.

Jika dilihat dari apa yang telah barat buat, bisa kita lihat bagaimana ciri peradaban yang mencerminkannya. Yaitu dengan paradigma yang sekular dan liberal yang meruntuhkan semua kebenaran mutlak. Segala kebeneran telah mereka relatifkan dari segi masa (historicization of truth), dari segi status sosial (Sociology of knowledge) dan dari segi sifat dan bahasa manusia yang terbatas (the Limits of languange) dan juga relatif dari segi hermeneutika. Dari berbagai aspek  yang berbagai ini, pemaknaan tentang suatu perkara sifatnya adalah sementara terbatas. Maka disinilah yang menjadikan paham pluralisme dianggap penting agar orang tidak dengan mudah mengabsolutkan yang relatif. Hanya tuhan semata lah yang mengetahui kebenaran yang absolut, anggap mereka.

Dampak lainnya, ialah banyak dari ilmuan barat menyimpulkan bahwa setiap agama itu hanyalah bentuk dari perkembangan suatu kepercayaan yang tidak lengkap, kemudian menjadi sebuah agama atau suatu tradisi. Khususnya islam, mereka meng-klaim bahwa islam bukanlah suatu kepercayaan yang lengkap, dan merupakan satu agama yang berasal dari perkembangan dari kepercayaan menadi suatu tradisi tersendiri. Hal ini dikarenakan, pada abad ke-19 ramai orang orang islam menulis buku yang meletakkan islam sebagai satu satunya agama resmi (institutionalized religion). Kemudian untuk membantah hal ini maka salah seorang dari pada ilmuan atau filosof barat, yakni Wilfred Cantwell Smith, menulis sebuah buku yang berjudul Towards a World Theology, yang dimana ia mengajak orang orang untuk meyakini Pluralisme Agama dan membantah Islam mengenai agama satu satunya yang resmi.

Kemudian dampak Pluralisme terhadap intelekual Muslim ialah, munculnya bahkan sangat banyak para intelektual muslim yang sudah teracuni dan terjebak oleh faham ini, dan menggunakan al-Qur’an dan Hadits sebagai pegangan atau dalil bagi argumen mereka menganai pluralisme Agama. Salah satu yang mencetuskannya adalah Osman Bakar dari Malaysia. Dia bersepakat bahwasanya Islam tidak menghapuskan agama agama yang lain. Ia menggunakan ayat al-Qur’an sebagai dalil atas argumennya dalam surat Al-Baqarah ayat 62. Baginya, ayat tersebut menunjukkah bahwasannya Al-Qur’an mengiktiraf keimanan kaum yahudi dan Nasrani. Selain itu, adalah Mohammad Ayoub, yang menjadi salah satu sumber Osman Bakar dalam pendapatnya mengenai Pluralisme agama, juga menafsirkan beberapa ayat dalam al-Qur’an degan kaidah tersendiri untuk membenarkan faham pluralisme. Salah satunya adalah ayat ke-85 dalam surat ali-Imran. Menurutnya, yang dimaksud dengan penyerahan diri adalah penyerahan diri dalam bentuk apa saja, dimana saja, dan bagaimana saja.

Pengaruh pluralisme agama tidak hanya pada golongan Intelektual muslim saja, namun juga menyebar kepada tokoh tokoh politik yang mengikuti pemikiran para intelektuan tertentu tersebut. Mereka mengatakan, bahwa pluralisme bukanlah sesuatu yang baru, melainkan sudah berakar dan diterima dalam trsdisi keilmuan islam. Maka sudah wajar, lanjut mereka, yaitu umat islam hari ini untuk bersikap inklusif dan pluralis terhadaptumat agama lain. [7]

Solusi dan Jawaban untuk Pluralisme

Jawaban bagi pernyataan pluralisme agama adalah, kita tanyakan balik pada mereka yang memperayainya. Apakah benar semua agama itu benar? Kalau memang demikian, apakah sudah ada diantara mereka yang meneliti semua agama di dunia ini yang berjumlah lebih dari 4200 agama? Bukankah mereka hanya meneliti beberapa agama dan setelahnya langsung menyimpulkan bahwa semua agama itu benar? Apakah paham ini bisa diterima begitu saja jika yang semua agama di dunia saja belum dia teliti. Juga jika direnungkan kembali, mereka yang meyakini pluralisme Agama, paham yang menyatukan bahwa semua agama adalah sama saja, sejatinya mereka sangatlah dekat dengan ateisme. Ketika seseorang menyatakan “semua agama benar” maka melekat pada perkataan tersebut, yakni makna “semua agama salah”. Sebab, Tuhan yang digambarkan oleh kaum Pluralis adalah Tuhan yang abstrak, boleh digambarkan dengan apa saja, sifatnya apa saja, nama apa saja, dan cara apapun untuk menyembahnya pun bebas. Tuhan da,am gambaran mereka adalah tuhan yang abstrak, tidak bisa digambarkan secara final, tidak ada sifat yang final. Dengan membebaskan menggambarkan tuhan mereka, maka dalam satu waktu, tuhan bisa berwujud patung. Dalam satu waktu di tempat yang lain, tuhan dalam digambarkan dalam wujud pohon, kertas, bahkan makanan. Sangatlah abstrak. Tidak ada yang final.

Dengan begitu, maka sudah jelas pendapat mereka mengenai semua agam itu benar adalah salah. Karena tidak mungkin dalam satu waktu yang sama, tuhan menghalalkan babi dan mengharamkannnya. Menghalalkan seks bebas dan mengharamkannnya. Mengharamkan khamar dan menghalalkannya. Dua hal yang sangat bertolak blakang terjadi dalam satu hal adalah suatu yang tidak bisa diterima dalam akal manusia yang masih waras dan sehat. Oleh itu, orang yang menganut kepercayaan pluralisme disebut dengan orang yang tak berpendidikan. Sebab, meski mereka yang menganut paham ini sudah bergelar tinggi, kalau ia masih mengikuti paham yang didalamnya ada hal yang kontradiksi, maka hal itu membuktikan bahwa mereka tidak menggunakan akal mereka dengan baik. Mereka menafikan kebenaran akal hanya demi mempercaya ego sendiri yang menyebabkan sesat menyesatkan.

Terlepas dari pada itu semua, jika memang semua agama benar dan menuju pada tuhan yang sama, maka untuk apa Nabi Muhammad menyuruh umatnya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat yang mengandung tidak ada tuhan selain Alla? Dari pada itu, untuk apa nabi diutus? Untuk apa Nabi mengatakan “akan masuk Neraka mereka yang tidak masuk Islam”? untuk apa Nabi mengajak orang orang pada agama islam jika semua agama sudah benar adanya? Terlebih lagi, untuk apa Allah menurunkan firmanya dalam surah al-Fatihah yang maknanya merujuk pada kenyataan bahwa hanya ada satu jalan yang lurus, dan yang lain adalah belok. Oleh itu, sangat lah aneh bahkan bodoh orang yang mengakuk islam namun membenarkan semua agama. Karena pada hakikatnya, sudah dengan jelas Allah dan Rasulnya mengatakan bahwa ada pembeda dengan tuhan dalam agama islam dan agama yang lain. Islam membedakan antara tauhid dan syirik dengan jelas dalam Al-Qur’an ( 31:13, 4:48, 15:88-91). [8]

Terlebih lagi, jika kita memperhatikan dengan saksama, kita akan menemukan fakta bahwa ketika ada seseorang yang mencampur adukkan Agama, maka yang ia yakini bukanlah membawa pada suatu jalan keluar dari permasalahan antar umat beragama. Melainkan, akan membawa pada konflik dan masalah baru yang menyebabkan perpecahan dan tunbuhnya agama baru yang dimana, agam tersebut tidak meyakini satu agama pun benar, dan juga tidak meyakini satupun agama yang salah. Dalam hal ini, gambaran yang tepat untuk menggambarkan Pluralisme Agama adalah, dimana ketika seseorang membeli bubur, cakwe, ayam, bawang goreng, kecap, bumbu dan sate yang setelahnya ia campurkan semua itu kedalam satu wadah. Dengan begitu, yang ada dalam wadah tersebut bukanlah lagi bubur, ayam ataupun cakwe. Melainkan satu makanan baru yang diberi nama “Bubur ayam Spesial”. Begitu juga dengan Pluralisme Agama. Ketika ia sudah mencampurkan semua agama, maka ia telah menciptakan agama baru, yang memiliki pendapat yang tidak konsisten dan juga kontradiktif.

Selain itu, jika diperhatikan lagi, maka kita bisa temukan bahwasannya sejak awal, pendapat kaum Pluralis ini adalah sesuatu yang tidak konsisten. Sebab, mereka mengatakan bahwasanya tidak akan kebenaran sejati, tidak boleh mengklaim bahwa hanya agama nya sendiri lah yang benar, namun pada saat yang sama, ia telah meyakini agama nya sendiri yang paling benar, yakni Pluralisme agama. Jika memang mereka membenarkan semua agama, mengapa mereka repot repot mengajak orang untuk percaya pluralisme agama? Bukanlah hal itu bertolak belakang dengan apa yang mereka katakan? Kata kara mereka yang berbunyi “semua agama benar” itu bukankah sudah merupakan kebenaran tersendiri? Dan juga, mereka mengatakan bahwa agama lain intoleran, namun pada saat yang sama justru mereka lah yang berlaku intoleran. Karena, ia hanya meyakini agama nya lah yang benat, yakni agama pluralis. Agama, dibuat sejatinya untuk diyakini kebenarannya, dan dengan begitu yang lain menjadi salah. Kalo memang semua hal  itu sama, maka apa gunanya agama?

Ustadz Adian Husaini pernah mengatakan, bahwasannya untuk menajadi Real Submission adalah dengan mengikuti Nabi Terakhir, yakni Nabi Muhammad, dan apa yang sudah dicontohkan nabi adalah contoh yang sah dan final, tidak ada yang salah dan mengambang pemahamannya. Hal ini dikarenakan, subbmission adalah manifestasi, konfirmasi, dan juga afirmasi dari keyakinan yang benar. Mulai dari masalah sepele hingga masalah yang dianggap serius, sudah Nabi ajarkan dalam agama islam secara mutlak, dan tidak pernah berubah gerakannya sejak 1400 tahun yang lalu hingga saat ini.

Penutup

Akar dalam masalah konflik antar agama ini adalah, tidak sadarnya para penganut agama akan adanya perbedaan agamanya dengan agama orang lain. Dengan begitu, mereka selalu mencari kesalahan darinya. Oleh itu, setiap agama sudah selayaknya untuk sadar. Bahwa setiap agama dan keyakinan itu memiliki perbedaan tersendiri dengan agama lainnya. Dan dengan begitu, sesama penganut agama hatuslah menghormati perbedaan tersebut dengan cara tidak mengganggunya, bukan dengan cara memusuhinya. Itulah makna toleransi yang sebenarnya. Mungkin cukup sekian tulisan mengenai pluralisme agama ini, semoga apa yang saya sampaikan bisa memberikan manfaat bagi semuanya. Terlepas dari kesalahan saya, saya minta maaf apabila ada silap kata, karena sejatinnya kebenaran datangnya dari Allah, dan kesalahan datangnya dari saya. Wallahu A’lam***

 

 

 



[1] Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, Depok: GEMA INSANI tahun 2021, hal 334

[2] Telah berlaku peperangan yang lama di Eropa pada abad ke 17 Masehi yang dipangggil dengan sebutan “The Thirty Years” War  atau juga Sectarian Wars. Peperangan ini  pada dasarnya disebabkan oleh perbedaan kepercayaan di kalangan penganut kristian sendiri.

[3] Khalif Muammar, Islam dan Pluralisme Agama: Memperkukuh Tawhid di Zaman Kekeliruan, Kuala Lumpur, Malaisya: CASIS tahun 2013, hal 7

[4] Fatih Madini, Reformasi Pemikiran Pendidikan Kita, Depok: YPI At-Taqwa, tahun 2020, hal 28

[5] Muhammad Ardiansyah, 10 Logika Liberal dan Jawabannya, DEPOK: Indie Publishing, tahun 2012, hal 110

[6] ibid, hal 29

[7] Khalif Muammar, Islam dan Pluralisme Agama: Memperkukuh Tawhid di Zaman Kekeliruan, Kuala Lumpur, Malaisya: CASIS tahun 2013, hal 45

[8] Adian Husaini, 10 Kuliah Agama Islam: Panduan Menjadi Cendikiawan Mulia dan Bahagia, Jogjakarta: Pro-U Media, tahun 2016, hal 79

Komentar